Mendidik dengan Bahasa Cinta - Ane Try | Literacy Influencer

Info Terkini

Post Top Ad


Selasa, 10 Oktober 2023

Mendidik dengan Bahasa Cinta


ANETRY.NET
– Pada pembahasan masalah komunikasi yang efektif dalam mendidik, tidak akan terlepas dari unsur pendidikan, pendidik, peserta didik dan cara mendidik .Pendidikan sudah terjadi dalam sepanjang sejarah peradaban manusia guna melestarikan hidup dan kehidupan yang terus berkembang mulai dari cara yang sangat awam sampai kepada cara yang super canggih saaat ini.

 

Mendidik menurut Darmodiharjo dalam Sodulloh (2010:7) “menunjukkan  usaha yang lebih ditujukan kepada pengembangan budi pekerti, hati nurani, semangat, kecintaan, ketakwaan, dan lain lain”.  Mendidik merupakan suatu proses menyampaikan nilai-nilai agar peserta didik mempunyai kecakapan yang lebih baik. Proses penyampaian nilai-nilai tersebut merupakan tugas kongkrit seorang pendidik.

 

Oleh karena itu  seorang pendidik harus memiliki kecakapan berbahasa agar dalam proses penyampaian  nilai-nilai tersebut lebih efektif dan efesian . Kecakapan berbahasa yang dimaksud adalah berbahasa  dengan bahasa cinta, yang dapat menyentuh ke lubuk hati peserta didik.

 

Berbahasa dengan bahasa cinta,  pada dasarnya adalah keterampilan  yang dimiliki seseorang yang  merupakan  akumulasi dari penghayatan terhadap nilai nilai. Dengan kata lain, berbahasa cinta adalah bentuk tingkah laku yang telah melalui proses penghayatan dan pemaknaan terhadap norma luhur.  Dalam berbahasa, bahasa cinta itu harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks berkomunikasi dengan peserta didik.

 

Karena itu, pendidik harus  bertutur kata atau menyampaikan gagasan melalui bahasa kecintaan.  Dengan kata lain, pembinaan bahasa cinta adalah pembelajaran yang aplikatif yang semestinya dimiliki oleh seorang pendidik.

 

Sering mendegar kata-kata yang indah yang melembutkan hati dan menyentuh perasaan, semua itu adalah sinonim dari bahasa cinta.. Berbahasa dengan cinta  menjadi ciri manusia yang memahami dan menghayati norma budaya dan agama. Orang yang berbahasa dengan bahasa cinta akan mampu menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai elemen yang baik dan dapat diterima keberadaannya.

 

Di era tekhnologi digital, yang semakin mendunia  saat ini, dunia semakin komplek, berbagai tantangan bermunculan di sana sini tanpa bisa di elakkan, baik tantangan yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Teknologi digital saat ini ternyata sangat mudah mengakses bahasa-bahasa yang di anggap gaul, bahasa yang di anggap ngetren, bahasa-bahasa yang tidak sesuai dengan norma kesopanan  bahkan juga telah menjalar di kalangan para pelajar. Bagi mereka, bahasa-bahasa gaul tersebut terkesan unik dan menarik.

 

Padahal, penggunaan bahasa-bahasa gaul dan alay tersebut sering  bertentangan dengan norma-norma budaya dan agama. Bisa dibayangkan bagaimana negeri ini beberapa tahun yang akan datang, akan diisi oleh generasi-generasi yang jauh dari tatakrama kesantunan baik dalam bersikap maupun dalam berbahasa. Jika hal demikian halnya maka generasi emas yang diharapkan tahun 2045 akan merupakan isapan jempol belaka.

 

Irma Febriani dalam bukunya model Pembelajaran Quantum Learning Perspektif Pendidikan islam menyatakan “Dalam mewujudkan peserta didik yang memiliki kepribadian yang seutuhnya, maka diperlukan suatu pendekatan emosional yang mampu menjadi jembatan rasa antara peserta didik dengan pendidik. Membangun jembatan rasa bukan perkara mudah, karena memerlukan niat, kasih sayang dan resiko dari pendidik terlebih dahulu”. 

 

Namun pada kenyataannya, tidak jarang hubungan emosional antara pendidik dan peserta didik hanya dibangun secara formalitas saja. Pendidik tidak memiliki rasa yang terpaut dengan peserta didik dalam penyampaian materi pembelajaran, karena bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi juga bahasa yang dianggap formalitas tanpa ruh dan rasa. Hal ini tentu akan membentuk karakter yang kurang baik bagi peserta didik seperti rasa acuh tak acuh dan tidak peduli.

 

“Bahasa cinta adalah wujud komunikasi yang diungkapkan kepada orang lain untuk menunjukkan perasaannya berupa kasih sayang dengan tujuan untuk membangun hubungan yang rukun atau mesra” (Fauziyah Minkhah, ‘Pengaruh Penggunaan Bahasa Cinta Dalam Pembelajaran Terhadap Psikologi Belajar Siswa: 2013).

 

Dengan diterapkannya bahasa cinta dalam pembelajaran diharapkan agar peserta didik memiliki kepatuhan serta menjalin hubungan emosional yang positif dan mesra dengan pendidik. Oleh karena itu agar terwujudnya generasi yang  memiliki tata karma dan kesantunan dan bersikap di masa depan harus dimulai dari keteladanan seorang pendidik dalam mendidik, baik keteladanan dari guru ataupun dari orang tua.

 

Di lingkungan sekolah, keteladanan guru sangat diperlukan dengan cara menggunakan bahasa dengan bahasa cinta dalam mengajar atau dalam berinteraksi dengan siswa. Jika guru memberikan contoh cara berbahasa yang santun dan penuh cinta , maka siswa akan mengikuti apa yang diucapkan dan dilakukan oleh gurunya.

 

Begitupun sebaliknya jika guru sering mengunakan kata-kata kasar yang jauh dari kesantunan maka peserta didiknya akan mencontoh bahkan lebih dari itu. Ibarat kata pepatah “ jika guru kencing berdiri maka murid kencing berlari“, artinya murid akan senantiasa mencontoh apa yang dibiasakan oleh gurunya.

 

Maka  seorang guru dituntut bukan sekedar transfer of knowladge akan tetapi jauh lebih dari itu adalah sebagai figur yang digugu dan ditiru. Karena itu peran guru dalam pembentukan karakter siswa dapat diwujudkan dalam kebiasaan berbahasa dengan bahasa cinta.

 

Namun demikian, peran orang tua juga tidak kalah pentingnya yang ikut memberikan kontribusi sangat besar bagi perkembangan karakter berbahasa anak. Orang tua dapat memberikan tuntunan berkomunikasi dengan memilih kosa kata yang indah dan santun saat berbicaran dengan anak, bahasa yang dapat menyentuh perasaan terdalam si anak, bahasa yang dapat melembutkan hati  dan menggugah jiwa, bahasa yang penuh cinta, bahasa ketulusan dari hati ke hati.

 

Dengan demikian tentu sudah merupakan harapan kita semua  generasi muda saat ini akan terhindar dari budaya bahasa gaul, alay, bahkan bahasa membuly yang kadang terkesan kotor bahkan menghujat. Oleh karena itu perlu adanya sinergi dalam membekali anak dengan pendidikan berbahasa agar menjadi kekuatan yang positif untuk menekan pengaruh negatif  di zaman kekinian yang saat ini sering diistilahkan dengan era digital.

Penulis: Eli Delfita, S.Ag (Guru SDN 01 Limo Kaum Kec. Lima Kaum Batusangkar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Post Top Ad