ANETRY.NET – Pada pembahasan masalah komunikasi yang efektif dalam mendidik, tidak akan terlepas dari unsur pendidikan, pendidik, peserta didik dan cara mendidik .Pendidikan sudah terjadi dalam sepanjang sejarah peradaban manusia guna melestarikan hidup dan kehidupan yang terus berkembang mulai dari cara yang sangat awam sampai kepada cara yang super canggih saaat ini.
Mendidik
menurut Darmodiharjo dalam Sodulloh (2010:7) “menunjukkan usaha yang lebih ditujukan kepada pengembangan
budi pekerti, hati nurani, semangat, kecintaan, ketakwaan, dan lain lain”. Mendidik merupakan suatu proses menyampaikan
nilai-nilai agar peserta didik mempunyai kecakapan yang lebih baik. Proses
penyampaian nilai-nilai tersebut merupakan tugas kongkrit seorang pendidik.
Oleh karena itu seorang pendidik harus memiliki kecakapan
berbahasa agar dalam proses penyampaian nilai-nilai tersebut lebih efektif dan efesian
. Kecakapan berbahasa yang dimaksud adalah berbahasa dengan bahasa cinta,
yang dapat menyentuh ke lubuk hati peserta didik.
Berbahasa dengan
bahasa cinta, pada dasarnya adalah keterampilan yang dimiliki seseorang yang merupakan akumulasi dari penghayatan
terhadap nilai nilai. Dengan kata lain, berbahasa cinta adalah bentuk tingkah laku yang
telah melalui proses penghayatan dan pemaknaan terhadap norma luhur. Dalam berbahasa, bahasa cinta itu harus dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari dalam konteks berkomunikasi dengan peserta didik.
Karena itu, pendidik harus bertutur kata atau menyampaikan gagasan
melalui bahasa kecintaan. Dengan kata lain, pembinaan bahasa cinta adalah pembelajaran
yang aplikatif yang semestinya dimiliki oleh seorang pendidik.
Sering mendegar kata-kata yang indah yang melembutkan
hati dan menyentuh perasaan,
semua itu adalah sinonim dari bahasa
cinta.. Berbahasa dengan
cinta menjadi ciri manusia yang
memahami dan menghayati norma budaya dan agama. Orang yang berbahasa dengan bahasa cinta akan
mampu menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai elemen yang baik
dan dapat diterima keberadaannya.
Di era tekhnologi digital, yang semakin mendunia saat ini, dunia semakin komplek, berbagai
tantangan bermunculan di sana sini tanpa bisa di elakkan, baik tantangan yang
bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Teknologi digital saat ini ternyata sangat mudah mengakses bahasa-bahasa
yang di anggap gaul, bahasa yang di anggap ngetren, bahasa-bahasa yang tidak
sesuai dengan norma kesopanan bahkan
juga telah menjalar di kalangan para pelajar. Bagi mereka, bahasa-bahasa gaul
tersebut terkesan unik dan menarik.
Padahal, penggunaan bahasa-bahasa gaul dan alay tersebut
sering bertentangan dengan norma-norma
budaya dan agama. Bisa dibayangkan bagaimana negeri ini beberapa tahun yang
akan datang, akan diisi oleh generasi-generasi yang jauh dari tatakrama
kesantunan baik dalam bersikap maupun dalam berbahasa. Jika hal demikian halnya maka generasi emas yang
diharapkan tahun 2045 akan merupakan isapan jempol belaka.
Irma
Febriani dalam bukunya model Pembelajaran Quantum Learning Perspektif
Pendidikan islam menyatakan “Dalam mewujudkan peserta didik yang memiliki
kepribadian yang seutuhnya, maka diperlukan suatu pendekatan emosional yang
mampu menjadi jembatan rasa antara peserta didik dengan pendidik. Membangun jembatan
rasa bukan perkara mudah, karena memerlukan niat, kasih sayang dan resiko dari
pendidik terlebih dahulu”.
Namun pada
kenyataannya, tidak
jarang hubungan emosional antara pendidik dan peserta didik hanya dibangun
secara formalitas saja. Pendidik tidak memiliki rasa yang terpaut dengan
peserta didik dalam penyampaian materi pembelajaran, karena bahasa yang
digunakan sebagai alat komunikasi juga bahasa yang dianggap formalitas tanpa
ruh dan rasa. Hal ini tentu akan membentuk karakter yang kurang baik bagi
peserta didik seperti rasa acuh tak acuh dan tidak peduli.
“Bahasa cinta
adalah wujud komunikasi yang diungkapkan kepada orang lain untuk menunjukkan
perasaannya berupa kasih sayang dengan tujuan untuk membangun hubungan yang
rukun atau mesra” (Fauziyah Minkhah, ‘Pengaruh Penggunaan Bahasa Cinta Dalam
Pembelajaran Terhadap Psikologi Belajar Siswa: 2013).
Dengan
diterapkannya bahasa cinta dalam pembelajaran diharapkan agar peserta didik
memiliki kepatuhan serta menjalin hubungan emosional yang positif dan mesra
dengan pendidik. Oleh karena itu agar terwujudnya generasi yang memiliki tata karma dan kesantunan dan bersikap di masa depan
harus dimulai dari keteladanan seorang pendidik dalam mendidik, baik
keteladanan dari guru ataupun dari orang tua.
Di lingkungan sekolah, keteladanan guru sangat diperlukan
dengan cara menggunakan bahasa dengan
bahasa cinta dalam mengajar atau dalam berinteraksi dengan siswa. Jika
guru memberikan contoh cara berbahasa yang santun dan penuh cinta , maka siswa akan
mengikuti apa yang diucapkan dan dilakukan oleh gurunya.
Begitupun sebaliknya jika guru sering mengunakan
kata-kata kasar yang jauh dari kesantunan maka peserta didiknya akan mencontoh
bahkan lebih dari itu. Ibarat kata pepatah “ jika guru kencing berdiri maka
murid kencing berlari“, artinya murid akan senantiasa mencontoh apa yang dibiasakan
oleh gurunya.
Maka seorang guru
dituntut bukan sekedar transfer of knowladge akan tetapi jauh lebih dari itu
adalah sebagai figur yang digugu dan ditiru. Karena itu peran guru dalam pembentukan
karakter siswa dapat diwujudkan dalam kebiasaan berbahasa dengan bahasa cinta.
Namun demikian, peran orang tua juga tidak kalah
pentingnya yang ikut memberikan kontribusi sangat besar bagi perkembangan
karakter berbahasa anak. Orang tua dapat memberikan tuntunan berkomunikasi
dengan memilih kosa kata yang indah dan santun saat berbicaran dengan anak,
bahasa yang dapat menyentuh perasaan terdalam si anak, bahasa yang dapat
melembutkan hati dan menggugah jiwa,
bahasa yang penuh cinta, bahasa ketulusan dari hati ke hati.
Dengan demikian tentu sudah merupakan harapan kita
semua generasi muda saat ini akan
terhindar dari budaya bahasa gaul, alay,
bahkan bahasa membuly yang kadang terkesan kotor bahkan menghujat. Oleh karena
itu perlu adanya sinergi dalam membekali anak dengan pendidikan berbahasa agar
menjadi kekuatan yang positif untuk menekan pengaruh negatif di zaman kekinian yang saat ini sering
diistilahkan dengan era digital.
Penulis:
Eli Delfita, S.Ag (Guru SDN 01 Limo Kaum Kec. Lima Kaum Batusangkar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.