ANETRY.NET – Guru di sekolah tidak hanya mendidik dalam ranah kognitif. Tetapi juga mendidik peserta didik dalam ranah afektif dan psikomotor.
Dengan demikian, nantinya dapat
menjadikan manusia yang terampil untuk
masa depan sehingga memberi manfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Sehingga dalam pembelajarannya di sekolah, bisa bermakna dalam kehidupannya
sehari-hari.
Segala cara pasti akan dilakukan oleh
guru dalam pencapaian pembelajaran yang optimal bagi peserta didik. Hal itu
bisa saja dalam pemilihan materi ajar, motede serta alat peraga serta guru
harus jeli dalam pemilihan tempat duduk peseta didik didalam kelas serta
memahami karakter peserta didik.
Menurut Hamzah B. Uno, karakteristik
peserta didik merupakan sekumpulan kualitas yang ada dan diperlihatkan oleh
peserta didik, dan diantaranya adalah sikap dan perilaku yang ada dan di
tunjukkan oleh setiap individu, adanya rasa minat terhadap sesuatu, motivasi
dalam belajar yang berbeda-beda pada setiap individu, kemampuan mereka dalam
berfikir, juga kemampuan awal yang peserta didik miliki sebelum menduduki
bangku sekolah. Hamzah B. Uno juga menyatakan, peserta didik merupakan
individu yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang
menjalankan pendidikan. (Saiful Bahri Djamarah, 2000).
Peserta didik akan belajarnya di sekolah
dengan proses belajar dan pembelajaran, adalah dua hal yang saling berhubungan
erat dan tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan edukatif (Dr. Dimyati dan Drs.
Mudjion, 2013:5). Belajar dan pembelajaran dikatakan sebuah bentuk edukasi yang
menjadikan adanya suatu interaksi antara guru dengan siswa.
Di sini penulis menuangkan
problematika dalam pembelajaran yang sangat menjadi beban bagi penulis
dengan rendahnya nilai yang diperoleh
oleh peserta didik setiap kali melakukan PH, PTS dan US. Sudah kurang lebih 5
tahun penulis mengajar di kelas 6, sampai sekarang masih saja pelajaran Matematika tersebut menjadi momok yang menakutkan
bagi peserta didik. Itu sudah secara langsung peserta didik menyebutkan bahwa
pelajaran matematika pelajaran yang mereka takuti
Menurut
Ahmad Susanto (2016:186-187), pembelajaran matematika adalah suatu
proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan
kreativitas berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkontruksi
pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap
materi matematika. Jika ada pelajaran yang diajarkan selain dari
matematika peserta didik kelihatannya oke-oke saja, mereka tanpa beban dalam
belajar. Itu terlihat dari gesture tubuh peseta didik itu sendiri.
Tapi ketika belajar matematika, peserta
didik tidak semangat atau merasa bosan,
tetapi mereka tetap untuk belajar matematika walaupun guru sudah mengajak
peserta didik dengan menggunakan benda yang konkret yang ada hubungan dengan
pelajaran yang akan dipelajari. Mereka hanya mendengarkan guru, memperhatikan
pelajaran atau pun mereka disuruh ke depan untuk mengerjakan tugas dibawah
bimbingan penulis.
Peserta didik memang mengikuti pelajaran
matematika tersebut dengan berusaha semaksimal mungkin, serta memperhatikan guru didalam kelas dan ketika
latihan diberikan memang bisa di kerjakan walaupun hanya sebagian yang
menguasainya. Ketika ditanya apakah sudah paham, peserta didik menjawab sudah
paham.
Tibalah waktunya untuk pemberian
Penilaian Harian kepada peserta didik dengan KD yang telah dipelajari untuk
diujikan, tapi hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Hasil yang didapat
berbanding terbalik ketika melaksanakan tugas atau disuruh mengerjakan di depan kelas.
Hal ini menjadi kekecewaan yang mendalam
bagi penulis. Pasti setiap Penilaian Harian hanya 5 dari 28 orang yang tuntas.
Penulis pun telah menyadari bahwa ketika peserta didik melakukan Penilaian
Harian memang tidak lagi memberikan penjelasan atau membimbing peserta didik
dalam Penilaian Harian tersebut.
Nah, tiba di sinilah peserta didik
hilang konsentrasinya mana yang harus dikerjakan. Contohnya saja dalam Operasi
hitung campuran peserta didik tidak
hapal dengan konsep KABATAKU. Maka di sinilah peserta didik linglung dan ditambah lagi
dengan soal yang terdiri dari 2, 3 bilangan.
Apalagi dalam pengerjaan soalnya
bercerita, itu tambah parah lagi hasilnya. Penulis pun telah habis pikir apa
yang harus dilakukan agar pelajaran
matematika ini menjadi pelajaran yang diidolakan oleh peserta didik, seperti
mereka mengidolakan pelajaran olahraga. (*)
Penulis: Reni Septia, S.Pd (UPT SDN 16 Padang Magek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.