ANETRY.NET – Shalat merupakan salah satu rukun Islam, yakni rukun Islam yang ke dua yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Islam lima kali dalam sehari semalam yang tidak biasa ditawar-tawar. Bahkan amalan yang pertama sekali yang akan dihisab dan ditanya nanti di akhirat adalah shalat.
Dari Anas bin Malik, Nabi SAW bersabda, ”Sesungguhnya yang
pertama kali akan dihisab dari amal hambanya adalah shalat. Jika shalatnya baik, akan baik pula seluruh
amalanya dan jika shalatnya rusak, maka akan rusaklah semua amal perbuatanya.”
Dari hadits di atas dapatlah dipahami, shalat adalah kunci diterimanya amalan-amalan lain yang yang dikerjakan. Bila seorang muslim
mengerjakan shalat, maka amalan yang lain juga akan diperhitungkan oleh Allah SWT. Namun jika amalan shalat ditinggalkan, maka amalan yang lain
tidak akan diperhitungkan oleh Allah SWT.
Seorang yang rajin berbuat baik , banyak sedekah, serta rajin menolong
bahkan sudah menunaikan Haji dan Umrah, namun tidak mendirikan shalat lima waktu, maka amalan yang dia kerjakan
akan sia-sia. Ibarat seorang yang menanam pohon, kemudian pohon itu telah menghasilkan buah yang masak, yang sudah bisa dipetik untuk pelepas dahaga, namun orang tersebut tidak bisa untuk memetik buah
yang dihasilkan oleh pohon yang dia tanam. Karena tidak ada alat untuk mengambil buah
tersebut, maka orang tersebut akan kelaparan
dan kehausan,
sekalipun di depan matanya ada buah yang segar.
Shalat juga merupakan sebagi tiang agama. Siapa yang mendirikan
shalat berarti mereka telah mendirikan agama, namun bagi umat Islam yang tidak mendirikan
shalat berarti dia telah meruntuhkan agama sebagaimana yang disebutkan dalam
sebuah dalil: “Shalat adalah tiang
agama. Barang
siapa yang menegakan shalat berarti ia telah menegakkan agama, dan barang siapa yang
meninggalkan shalat berarti dia telah meruntuhkan agama (HR. Bukhari
Muslim).
Setelah membaca dua hadis di atas, maka sebagai guru, merinding
rasanya menerima amanah,
tidak hanya dari pemerintah, namun dari Allah SWT yang harus dipertanggung jawabkan nanti di pengadilan Allah. Bagaimana harus mempertanggungjawabkan berapa
banyak anak-anak yang dititipkan oleh orang tuanya untuk dididik menjadi orang
yang paham dengan agama, yang mempunyai akhlak yang mulia. Menjadi anak yang bisa membaca Al-Quran dengan baik dan benar, menjadi anak yang selalu
mendirikan shalat lima waktu, karena gurulah yang diberi amanah, pasti guru akan ditanya nanti di pengadilan-Nya.
Namun, semua ini tentu tidak sepenuhnya dibebankan
kepada guru agama yang mengajar di sekolah,
yang hanya satu kali dalam satu minggu. Pelajaran agama hanya
4 jam pelajaran yang tak lebih dari 140
menit per minggu, dengan waktu yang mustahil
guru agama akan mampu membentuk anak didiknya menjadi anak yang berakhlak mulia
berkarakter yang baik . Mustahil pula
membuat anak mampu membaca Al-Quran dengan baik dan
benar, serta
terbiasa melakukan shalat lima waktu, sekalipun dengan berbagai teknis, metode, dan strategi yang digunakan.
Semua ini tidak terlepas dari peran
lingkungan yang sangat berperan penting dalam membentuk dan membiana pembiasan
anak usia sekolah. Terutama lingkungan keluarga
yang pertama sekali ditemui oleh anak, mulai sejak mereka dalam kandungan sampai mereka menjadi
peribadi yang mengenal lingkunganya.
Para ahli psikologi menjelaskan dalam
pendapatnya sebagai berikut. Erik Erikson adalah seorang ahli pisikologi perkembangan yang
mengemukakan bahwa anak-anak mengalami konflik dan tugas perkembangan yang
berbeda dalam setiap perkembanganya.
Dalam tahap pertengahan anak (usia 6-12) tahun, anak-anak perlu
mengembangkan kompetensi. Lingkungan yang mendukung pembelajaran shalat dengan memberikan
bimbingan yang baik dapat membantu anak merasa kompeten dalam menjalankan
shalat.
Teori pembelajaran sosial keagamaan. Teori ini mengacu pada pengajaran nilai-nilai keagamaan dan praktik-praktik agama melalui sosialisasi dalam keluarga dan
komunitas keagamaan.lingkungan yang kaya akan pengalaman keagamaan dan
pendidikan agama akan memberikan landasan kuat bagi pembiasaan anak dalam
menjalankan shalat.
Peran orang tua. Orang tua memiliki peran
kunci dalam membentu kebiasaan shalat anak-anak mereka. Mereka dapat memberikan contoh dengan
konsisten melaksanakan shalat, memberikan pengajaran agama, dan memberikan
dorongan positif kepada anak-anak untuk menjalankan shalat.
Jadi lingkungan keluarga sangat
mempengaruhi nilai-nilai pembiasaan anak untuk melaksanakan shalat, terutama ayah
ibu yang akan memberikan contoh teladan kepada anak-anaknya. Setelah dilihat bagi ayah
ibunya yang shalat, anaknya akan terbiasa untuk melaksanakan shalat, namun tidak cukup
dengan contoh saja tanpa adanya bimbingan dari orang tua.
Orang tua harus , mengajak, mengawasi dan
membimbing anak-anaknya untuk membiasakan melaksanakan shalat. Sebab sering juga
anak-anak bila ditanya ayah ibunya shalat, namun anak tidak shalat dengan alasan lupa atau
tidak shalat subuh karena tertidur. Kita tidak bisa menyalahkan anak semata, bila anak terlupa berarti
orang tua tidak mengawasi mereka, bila tertidur berarti mereka tidak dibangunkan
oleh orang tuanya. Padahal anak amanah yang dititipkan Allah, yang harus dipertanggung jawabkan
nanti di hadapan Allah.
Karena semua anak itu lahir dalam
keadaan fitrah, namun kedua orang tuanyalah yang membentuk mereka sebagaimana sabda
Rasulullah SAW, yang artinya, dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah bersabda tiada seorang
anakpun yang lahir kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua
orang tuanyalah yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR.Bukhari).
Jadi dari hadis ini jelaslah bahwa orang
tua sangat berperan penting dalam menanamkan kebiasaan dalam melaksanakan
shalat kepada anak. (*)
Penulis: Dra. Nurhayati (Guru
PAI UPT SDN 16 Padang Magek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.