ANETRY.NET – Tidak banyak yang mau menjadi guru di kampung kami. Nagari Balimbing, di aliran Batang Bengkawas.
Kini, penulis adalah guru Kelas 1 di tanah kelahiran
sendiri. Kampung kami adalah salah satu dari sekian banyak kampung yang sangat
hormat dan menghargai guru. Bukan hanya guru di sekolah tapi juga guru non formal. Guru mengaji, guru adat, guru
menjahit, memangkas rambut sampai dengan bertukang sekalipun.
Secara
alamiah, guru-guru yang kami sebutkan, dihargai karena karya dan pengalamannya. Guru mengaji misalnya, kampung
kami pernah punya seorang buya yang seluruh hidupnya
diabdikan untuk mengajar mengaji. Sekampung mengakui itu. Bahkan, ibu penulis merupakan
murid dari buya tersebut.
Begitu
juga dengan Guru Sekolah Dasar. Kenapa penulis memilih menjadi
guru? Salah satu faktornya adalah pendahulu, kakak dari ibu penulis adalah seorang guru. Guru Sekolah Dasar yang juga mengabdikan hidupnya untuk
mendidik, mengajar baca tulis orang sekampung. Saban hari, selalu terngiang di kepala, bagaimana setiap malam anak didik etek (panggilan untuk saudara ibu)
datang ke rumah, untuk kelas tambahan belajar
membaca dan berhitung.
Lama
kelamaan, baru disadari ternyata itu berpengaruh
besar. Ketika lulus SMP kemudian ingin melanjutkan pendidikan etek berpesan untuk melanjutkan ke SPG (Sekolah
Pendidikan Guru) di Padang Panjang. Bagaimana tidak kami setuju, ibu dan etek kami saling dukung untuk menjadi
Guru. Sedikit mengenang cerita dalam tugas menulis ini, bapak/ibu pembaca.
Menjadi guru SD dari dahulu sampai sekarang, tetap menjadi target dan idola bagi anak anak kampung yang
berkesempatan untuk mencicipi bangku perkuliahan. Cerita yang akan kami bagi
kepada kita semua, adalah kejadian yang akan selalu diingat oleh anak
pertamaku.
Suatu
waktu saat kami makan malam. Anakku bertanya, “sudah berapa lama ibu menjadi
guru”. “Baru sebentar, 30 tahun, lebih tua dari usiamu sedikit”. Anakku
tersentak. Karena memang angkatan SPG laris manis ditahun 90an. Belum lulus
saja sudah ada sekolah yang ‘meminang’ bahkan.
Di antara kawan kawan seangkatan, ada yang dulu dipinang oleh lelaki juga baru kemudian dipinang
menjadi guru. Sambil menyuap nasi dan gulai
jariang (gulai jengkol) kesukaan bujang pertamaku. Obrolan ibu dan anak
berlanjut. “Apa cerita yang paling ibu ingat mengajar anak anak?”.
Pertanyaan
yang tidak biasa dari anak SMA walau sebentar lagi kami berpisah. Anakku harus
ke Jogjakarta melanjutkan petualangan pendidikannya. Banyak cerita dalam kepala
kami yang dipilah dan dipilih untuk kami ceritakan. “Banyak hal yang harus
dipelajari untuk menjadi guru, terutama guru kelas satu”. “guru kelas satu??”
bujangku sekali lagi tersentak. Pasti banyak pertanyaan lagi dalam pikirannya. “ndak ado kelas nan lain, guru kelas satu tu
barek ma Bu, (tidak ada kelas yang lainkah, guru kelas satu sepertinya
berat)”.
Mata
kami bertemu, napas kami sama sama menghembus dan tertawa. Anakku meragukan
kemampuan ibunya. Menjadi guru kelas satu adalah jalan yang kami pilih.
Berangkat pagi, bawa bekal dan botol minum. Lalu, jantung berdebar kecil
sembari memikirkan keseruan apa yang akan diberikan oleh anak didik kami.
Tidak
dipungkiri, awal mengajar anak kelas satu, kami juga dibantu oleh guru guru
senior. Beberapa petuah guru senior masih segar di kepala kami. “indak buliah pamberang, harus sabar, banyak
galak dan gembira, kalau indak pandai jo anak kelas satu, nanti manangih”. Intinya
harus sabar dan sabar.
Kembali
kepada anak bujangku. Sebuah cerita dari pengalaman mengajar waktu kami baru
pindah ke kampung. SDN 10 Balimbiang, Awal tahun 2000 kami pindah.
Alhamdulillah bisa dekat dengan rumah dan mengajar anak anak dari kawan kawan
kami, bahkan anak dari murid murid kami.
Suatu
pagi, aku mulai bercerita. Ada anak yang tidak mau ikut upacara
karena lupa membawa dasi. Anak tersebut murung dan ngumpet di kelas dibawah meja guru. Pelan pelan kami dekati lalu
kami bertanya. “nak, kenapa dibawah meja, kamu sedang main petak umpet”. “ndak
Bu, saya lupa bawa dasi. Lebih baik tidak ikut upacara saja, nanti masuk barisan
didepan.
Barisan
murid yang lupa bawa dasi. Awak takuik
Buk, beko mamiliah sarok”. Wajahnya menunduk, suaranya getar. Anak yang
polos dan jujur. Satu hal yang kami ingat, sang anak sangat sportif mengaku
kepada kami. “tidak apa, nanti sama ibu ya, kita baris dibelakang saja supaya
tidak terlihat lupa bawa dasi”.
Mata
yang tadi takut karena berbeda barisan, mulai semangat karena bisa mengikuti
upacara dibantu oleh gurunya. Itu mungkin cerita biasa saja tapi sampai
sekarang anak yang jujur dan sportif dapat tempat yang spesial di pandangan
kami.
“Ah, itukan melebihkan saja Bu, anak kelas satu masa pakai dasi juga” bujangku meledek. “ada juga cerita yang lain,
yang juga selalu menempel dan berkesan”. Obrolan kembali antusias dan menunggu
cerita lain dari guru kelas satu. (*)
Penulis: Eli Yusma, S.Pd.SD (SDN 10 Balimbing)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.