Kisah 33 Tahun Menjadi Seorang Guru - Ane Try | Literacy Influencer

Info Terkini

Post Top Ad


Jumat, 08 September 2023

Kisah 33 Tahun Menjadi Seorang Guru


ANETRY.NET
Tidak banyak yang mau menjadi guru di kampung kami. Nagari Balimbing, di aliran Batang Bengkawas.

 

Kini, penulis adalah guru Kelas 1 di tanah kelahiran sendiri. Kampung kami adalah salah satu dari sekian banyak kampung yang sangat hormat dan menghargai guru. Bukan hanya guru di sekolah tapi juga guru non formal. Guru mengaji, guru adat, guru menjahit, memangkas rambut sampai dengan bertukang sekalipun.

 

Secara alamiah, guru-guru yang kami sebutkan, dihargai karena karya dan pengalamannya. Guru mengaji misalnya, kampung kami pernah punya seorang buya yang seluruh hidupnya diabdikan untuk mengajar mengaji. Sekampung mengakui itu. Bahkan, ibu penulis merupakan murid dari buya tersebut.

 

Begitu juga dengan Guru Sekolah Dasar. Kenapa penulis memilih menjadi guru? Salah satu faktornya adalah pendahulu, kakak dari ibu penulis adalah seorang guru. Guru Sekolah Dasar yang juga mengabdikan hidupnya untuk mendidik, mengajar baca tulis orang sekampung. Saban hari, selalu terngiang di kepala, bagaimana setiap malam anak didik etek (panggilan untuk saudara ibu) datang ke rumah, untuk kelas tambahan belajar membaca dan berhitung.

 

Lama kelamaan, baru disadari ternyata itu berpengaruh besar. Ketika lulus SMP kemudian ingin melanjutkan pendidikan etek berpesan untuk melanjutkan ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di Padang Panjang. Bagaimana tidak kami setuju, ibu dan etek kami saling dukung untuk menjadi Guru. Sedikit mengenang cerita dalam tugas menulis ini, bapak/ibu pembaca.

 

Menjadi guru SD dari dahulu sampai sekarang, tetap menjadi target dan idola bagi anak anak kampung yang berkesempatan untuk mencicipi bangku perkuliahan. Cerita yang akan kami bagi kepada kita semua, adalah kejadian yang akan selalu diingat oleh anak pertamaku.

 

Suatu waktu saat kami makan malam. Anakku bertanya, “sudah berapa lama ibu menjadi guru”. “Baru sebentar, 30 tahun, lebih tua dari usiamu sedikit”. Anakku tersentak. Karena memang angkatan SPG laris manis ditahun 90an. Belum lulus saja sudah ada sekolah yang ‘meminang’ bahkan.

 

Di antara kawan kawan seangkatan, ada yang dulu dipinang oleh lelaki juga baru kemudian dipinang menjadi guru. Sambil menyuap nasi dan gulai jariang (gulai jengkol) kesukaan bujang pertamaku. Obrolan ibu dan anak berlanjut. “Apa cerita yang paling ibu ingat mengajar anak anak?”.

 

Pertanyaan yang tidak biasa dari anak SMA walau sebentar lagi kami berpisah. Anakku harus ke Jogjakarta melanjutkan petualangan pendidikannya. Banyak cerita dalam kepala kami yang dipilah dan dipilih untuk kami ceritakan. “Banyak hal yang harus dipelajari untuk menjadi guru, terutama guru kelas satu”. “guru kelas satu??” bujangku sekali lagi tersentak. Pasti banyak pertanyaan lagi dalam pikirannya. “ndak ado kelas nan lain, guru kelas satu tu barek ma Bu, (tidak ada kelas yang lainkah, guru kelas satu sepertinya berat)”.

 

Mata kami bertemu, napas kami sama sama menghembus dan tertawa. Anakku meragukan kemampuan ibunya. Menjadi guru kelas satu adalah jalan yang kami pilih. Berangkat pagi, bawa bekal dan botol minum. Lalu, jantung berdebar kecil sembari memikirkan keseruan apa yang akan diberikan oleh anak didik kami.

 

Tidak dipungkiri, awal mengajar anak kelas satu, kami juga dibantu oleh guru guru senior. Beberapa petuah guru senior masih segar di kepala kami. “indak buliah pamberang, harus sabar, banyak galak dan gembira, kalau indak pandai jo anak kelas satu, nanti manangih”. Intinya harus sabar dan sabar.

 

Kembali kepada anak bujangku. Sebuah cerita dari pengalaman mengajar waktu kami baru pindah ke kampung. SDN 10 Balimbiang, Awal tahun 2000 kami pindah. Alhamdulillah bisa dekat dengan rumah dan mengajar anak anak dari kawan kawan kami, bahkan anak dari murid murid kami.

 

Suatu pagi, aku mulai bercerita. Ada anak yang tidak mau ikut upacara karena lupa membawa dasi. Anak tersebut murung dan ngumpet di kelas dibawah meja guru. Pelan pelan kami dekati lalu kami bertanya. “nak, kenapa dibawah meja, kamu sedang main petak umpet”. “ndak Bu, saya lupa bawa dasi. Lebih baik tidak ikut upacara saja, nanti masuk barisan didepan.

 

Barisan murid yang lupa bawa dasi. Awak takuik Buk, beko mamiliah sarok”. Wajahnya menunduk, suaranya getar. Anak yang polos dan jujur. Satu hal yang kami ingat, sang anak sangat sportif mengaku kepada kami. “tidak apa, nanti sama ibu ya, kita baris dibelakang saja supaya tidak terlihat lupa bawa dasi”.

 

Mata yang tadi takut karena berbeda barisan, mulai semangat karena bisa mengikuti upacara dibantu oleh gurunya. Itu mungkin cerita biasa saja tapi sampai sekarang anak yang jujur dan sportif dapat tempat yang spesial di pandangan kami.

 

Ah, itukan melebihkan saja Bu, anak kelas satu masa pakai dasi juga” bujangku meledek. “ada juga cerita yang lain, yang juga selalu menempel dan berkesan”. Obrolan kembali antusias dan menunggu cerita lain dari guru kelas satu. (*)

Penulis: Eli Yusma, S.Pd.SD (SDN 10 Balimbing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Post Top Ad