ANETRY.NET – “Gua dapat seratus lo, Anjir. Gokil lu, gua cuma pas tuntas, tujuh lima, Anjir.”
Itulah kata pertama yang didengar guru ketika membagikan
hasil ujian. Guru melongo mendengar komentar dari kedua siswa tersebut. Merasa
tidak nyaman dengan kalimat tersebut, guru bertanya dari mana siswa tersebut
dapat kata itu dan apa artinya. Kedua siswa itu hanya terdiam. Entah karena
malu, entah karena tidak mengetahui makna dari kata yang diucapkannya.
Pada dasarnya, ucapan yang selayaknya keluar dari mulut
siswa saat mendapat nilai sempurna adalah kalimat positif, seperti Alhamdulillah, syukurlah, terima kasih,
senang sekali, dan sebagainya. Begitu juga sebaliknya, seharusnya saat
mendapatkan nilai yang kurang memuaskan, yang keluar dari mulut adalah kalimat
yang instropeksi diri, seperti astaghfirullah,
ya ampun, oh my God, dan lain-lain.
Kalimat tersebut yang biasa diajarkan guru di sekolah.
Namun kalimat yang keluar malahan kata-kata yang tidak
pernah diduga. Kata-kata seperti ini tidak asing lagi terdengar bagi kita. Anjir, gokil, code, rasain elu, mati lu
dan sebagainya, Dalam percakapan siswa sehari-hari saat, baik di lingkungan
masyarakat maupun sekolah menjadi hal biasa. Bahkan mereka mengatakan, itu
merupakan salah satu kata gaul dalam pergaulannya.
Padahal kata-kata tersebut cenderung berkonotasi negatif,
yang menggambarkan pada bobroknya perkataan dan karakter orang yang
mengucapkannya. Entah siapa yang memulai kata tersebut, baik di dunia nyata
maupun di dunia maya. Pengaruh media sosial yang erat mempengaruhi prilaku
netizen saat ini. Baik dari segi kata-kata maupun perbuatanyang berkonotasi
negatif seperti anjir, cenderung
cepat diadaptasi masyarakat.
Dipandang dari sudut bahasa, ada 3 arti berbeda dari kata
Anjir yang tertuang di dalam Kamus
besar Bahasa Indonesia. Untuk arti kata anjir
yang pertama yakni terusan, saluran (air) atau kanal, yang dibangun, tidak
dapat digunakan untuk lalu lintas kendaraan air yang besar.
Sementara untuk arti kedua, anjir bermakna pohon. Arti kedua ini merupakan serapan dari Parsi
India. Sedangkan arti anjir yang
ketiga adalah penanda letak jebakan rajungan, biasanya berupa sebatang kayu
atau balok yang diberi warna mencolok. Kata Anjir
yang ketiga ini adalah serapan dari Bahasa Jawa. Ketiga arti kata anjir di KBBI
jauh dari arti umpatan atau ungkapan kasar.
Namun menurut pendapat Dosen Prodi Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS), Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), kata Anjir yang
kerap diucapkan oleh masyarakat di muka umum lebih mengacu kepada sebuah
umpatan.
Umpatan tersebut dihaluskan dari kata Anjing menjadi Anjir. Menurut Dheka, kaya Anjir
yang kerap kali di lontarkan oleh khalayak umum, sama sekali tidak mengacu
kepada pengertian sebagai mana yang ada di dalam KBBI. Kata anjir yang dipakai
oleh banyak orang itu artinya bukan mengacu pada kamus, melainkan umpatan yang
merupakan varian lainnya dari kata anjing (Dheka Dwi Agustiningsih, Dosen Prodi
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS),
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)).
Dalam dunia pendidikan, salah satu adab seorang siswa
terhadap guru adalah tidak mengucapkan kata-kata kasar. Selain itu didalam
kelas hendaknya tidak mengobrol, tertawa terbahak-bahak, apalagi mengucapkan
kata-kata kasar yang bisa menyinggung orang lain.
Sebagaimana diungkapkan oleh Imam An Nawawi, salah satu
adab siswa terhadap gurunya yaitu tidak mengobrol, bergunjing, dan berkata-kata
kotor saat guru menjelaskan pelajaran. Begitu juga jika dikelas, adab seorang
siswa, yaitu tidak boleh mengeraskan suara tanpa kebutuhan, menghindari tertawa
dan jangan banyak bicara. Untuk mengeraskan suara saja kita harus
menghindarkannya, apalagi mengeluarkan kata-kata yang berkonotasi negatif, yang
bisa merusak martabat sendiri bahkan bisa menyinggung orang lain.
Kejadian miris ini seharusnya menjadi perhatian bagi
semua pihak yang berkaitan dengan siswa, baik itu keluarga, sekolah, maupun
masyarakat, peran keluarga, terutama orang tua. Orang tua sangat berperan dalam
proses pembentukan karakter anak,terutama tutur kata anak.
Proses pembentukan yang dilakukan oleh orang tua adalah,
seharusnya melihat bagaimana kondisi anak dan memahami sifat mereka kemudian
orang tua hadir untuk menjalankan perannya memberikan ketauladanan untuk
anak-anak dan menjadi contoh yang baik. Hal ini harus didukung sarana dan
prasarana yang memadai, lingkungan yang baik, dan dukungan dari keluarga.
Karena kebanyakan faktor penghambat dalam pembentukan karakter anak adalah
siaran televisi dan penggunaan handphone secara berlebihan, senangnya anak bermain,
kesibukan orang tua, dan lingkungan pertemanan.
Begitu juga peran sekolah, sebagai rumah kedua bagi siswa. Semua tindak tanduk guru, kepala
sekolah dan tenaga kependidikan menjadi totok ukur dan contoh bagi siswa. Jika
semua pihak sekolah memberikan contoh prilaku yang baik, maka akan diadaptasi
menjadi perilaku yang baik oleh siswa, begitu juga sebaliknya. Selain itu guru
juga menjadi pendamping, pembimbing, dan pengingat bagi siswa dalam karakter
kehidupannya sehari-hari dilingkungan sekolah.
Terakhir, peran masyarakat tidak terlepas dalam
pembentukan karakter siswa, terutama karakter berbicara. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan masyarakat disini adalah orang yang lebih tua yang “ tidak
dekat “, “ tidak dikenal “ “ tidak memiliki ikatan famili “ dengan anak tetapi
saat itu ada di lingkungan sang anak atau melihat tingkah laku si anak.
Orang-orang inilah yang dapat memberikan contoh bagaimana bertutur kata yang
baik dan santun.
Jadi, menjadi tanggung jawab kita bersama dalam
menciptakan dan menjaga generasi penerus bangsa kita yang berkarakter baik,
berbudi pekerti luhur, dan berakhlak al karimah. Kita usahakan jangan sampai
terdengar lagi kata-kata umpatan yang keluar dari siswa dan anak kita yang
menjatuhkan derajat dan harga dirinya sendiri. (*)
Referensi:
1. https://www.sonora.id/read/423859434/apakah-arti-kata-anjir-yang-sebenarnya-dalam-kamus-bahasa-gaul
2. Sutri Cahyo Kusumo dan Salis Irvan Fuadi, Adab Guru Dan Murid
Menurut Imam Nawawi ad-dimsyaqi, Jurnal Al Qalam, Volume 20, Nomor 1,
Juni 2019. Link:
https://ojs.unsiq.ac.id/index.php/al-qalam/article/download/1066/559/
3. Asma Nur, Rusli Malli, Peran Orang Tua dalam Pembentukan
Karakter Anak Usia Dini Di Desa Bontoala Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa,
Universitas Muhammadiyah Makassar, Indonesia. Link:
https://journal.unismuh.ac.id/index.php/ijpai/article/download/8551/4999
4. Karkono, Peran Sekolah dalam Pembentukan Karakter Peserta
Didik. Link: http://fkip.univetbantara.ac.id/wp-content/uploads/2019/06/materi-karkono.pdf
5. Jito Subianto, PERAN
KELUARGA, SEKOLAH, DAN MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BERKUALITAS , LPPG
(Lembaga Peningkatan Profesi Guru), Jawa Tengah, Indonesia.
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Edukasia/article/download/757/726
Penulis: Zulfawan Syafri, S.Pd.I (UPT SDN 09
Simawang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.