Pekalongan, Anetry.Net – Perkembangan dunia pendidikan dengan segala bentuk peraturan dan terobosannya, makin hari makin banyak.
Apalagi, sejak kepemimpinan Nadiem
Makarim di Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdibudristek), melahirkan
kebijakan-kebijakan berepisode. Dan
salah satu program kementerian di bawah kendali Nadiem itu adalah program Guru Penggerak (GP) melalui Permendikbudristek Nomor 26 Tahun
2022 Tentang Guru Penggerak.
Menurut Kemdikbudristek, Guru Penggerak
adalah pemimpin pembelajaran yang mendorong tumbuh kembang murid secara
holistik, aktif dan proaktif dalam mengembangkan pendidik lainnya untuk
mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada murid, serta menjadi
teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil Pelajar
Pancasila.
Belakangan, kebijakan
dari Kemdikbudristek seolah mengkultuskan program ini. Sehingga sebagian dari
guru di daerah-daerah, menganggap bila dirinya tidak lolos GP, maka itu adalah
kiamat bagi kariernya di profesi tersebut.
Melihat hal itu, Nova
Indra, pimpinan lembaga Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(P3SDM) Melati, saat dimintai pendapat sekaitan Guru Penggerak melalui
sambungan telepon mengatakan, program yang dibuat Nadiem itu kini membuat dunia
guru berkasta-kasta.
“Satu sisi terobosan
tersebut cukup baik untuk menggenjot guru agar lebih maju, namun di sisi lain
dengan menganak emaskan mereka yang lolos Guru Penggerak, maka ini adalah
langkah yang salah,” tegas Nova.
Menurut pria berdarah
Melayu itu, sejak adanya program Guru Penggerak hingga saat ini, dunia guru
seolah diberi kelas maya. Bagi mereka yang lolos GP, seolah itu adalah kaum ‘priyayi’
nya profesi guru.
“Telah muncul
eksklusivitas di dunia guru dengan adanya guru penggerak. Padahal, kita bisa
lihat di daerah siapa-siapa yang lolos program tersebut. Bagaimana kualitasnya,
kepemimpinannya, komunikasinya, dan segala bentuk peran yang diharapkan dari seorang
GP. Banyak yang tidak mampu apa-apa,” jelas Nova lagi.
Kita, sambungnya,
hanya bisa berharap dunia pendidikan akan lebih baik ke depan melalui niat baik
para pendidik yang terus melakukan tugasnya dari hati, bukan karena merasa
sudah jadi kaum ‘priyayi’ di kalangan guru.
“Program Guru
Penggerak bukan segalanya, jangan anggap dengan menjadi GP seorang guru sudah
sampai di level tertinggi pencapaian kariernya dan merasa sudah hebat,”
pungkasnya. (*/ist)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.