Jakarta, Anetry.Net – Siapa yang tak kenal kelor, tanaman bernama latin Moringa oleifera Lam ini mendadak menjadi primadona di kala pandemi dan banyak diburu masyarakat.
Baru-baru ini Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin juga
meminta agar manfaat tumbuhan kelor diteliti secara serius. Mengapa? Agar dapat
masuk pasar global seperti ginseng dari Korea Selatan.
Lalu seajaib apa kelor hingga
dijuluki The Miracle Tree oleh World Healthy Organization (WHO) tersebut, hingga
diyakini dapat bersaing dengan ginseng? Untuk membuktikan hal tersebut,
Peneliti Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Ridwan mengungkap sejumlah
fakta.
Kandungan positif Kelor
Pohon kelor yang tergolong ke dalam
genus Moringaceae diyakini berasal dari kaki bukit Himalaya, meliputi Pakistan,
India, Nepal dan Bangladesh. Saat ini, tanaman tersebut tersebar luas dan
banyak dibudidayakan terutama di wilayah tropis.
Selain diolah sebagai bahan pangan,
kelor juga dapat diolah sebagai campuran herbal. Kandungan vitamin dan mineral
dalam kelor terbukti mencukupi gizi harian yang dibutuhkan oleh tubuh. Bahkan,
kandungan kalsiumnya pun melebihi susu hewani.
"Kandungan kalsium kelor lebih
tinggi dibanding tanaman lain. Bahkan, jika dibandingkan dengan susu sapi
sekalipun. Padahal selama ini susu sapi dikenal sebagai sumber utama kalsium
bagi manusia," ujar Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor, Ridwan,
melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (9/3).
Berdasarkan beberapa literatur, Ridwan
juga mengungkapkan bahwa susu sapi rata-rata mengandung 143mg/100 gr kalsium,
sedangkan kandungan kalsium daun kelor kering dapat mencapai 17 kali lipatnya. Ridwan
pernah menganalisis dan membandingkan kandungan kalsium daun kelor dari
beberapa daerah di Indonesia.
Hasilnya, ada yang mencapai hingga 21 kali lipat, yaitu
mencapai 3000mg/100gr. Jadi jangan heran, jika di NTT pernah mewajibkan
masyarakatnya mengonsumsi kelor, khususnya bagi ibu hamil dan menyusui.
Tak hanya itu, tanaman itu juga memiliki
kandungan protein yang cukup tinggi, sekitar 25-34 persen, setara dengan
kandungan protein pada kacang-kacangan. Merujuk dari data tersebut, memang
masih belum sebanding dengan kandungan protein biji kedelai yang mencapai 36
persen.
Flavonoid, Senyawa Bioaktif
Incaran dalam Kelor
Pada beberapa publikasinya, Ridwan
menuturkan beberapa tahun terakhir, pemanfaatan tanaman kelor meningkat secara
signifikan baik sebagai bahan makanan, obat-obatan, dan kosmetik. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya pengetahuan kandungan gizi dan potensi
farmasi kelor.
Ridwan menuturkan selain mengandung
kalsium dan protein, kelor juga mengandung berbagai senyawa metabolit sekunder
yang berfungsi sebagai antibakteri, antioksidan, antifungi, antiinflamasi,
antikanker, anti obesitas, dan anti kolesterol.
Tak hanya itu, senyawa metabolit
sekunder memiliki beberapa fungsi lain, diantaranya sebagai atraktan (menarik
serangga penyerbuk), pelindung dari stres lingkungan, pelindung dari serangan
hama atau penyakit (phytoaleksin), pelindung
terhadap sinar ultra violet, dan sebagai zat pengatur tumbuh.
"Senyawa metabolit sekunder sulit
disintesa, jarang dijumpai di pasaran, sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi.
Senyawa bioaktif yang paling banyak diincar dalam kelor adalah flavonoid.
Moringa mengandung berbagai jenis flavonoid senyawa seperti quercetin,
kaempferol, isorhamnetin, apigenin, dan myricetin.
Kandungan flavonoid daun kelor dilaporkan
lebih tinggi dari tanaman lain, seperti bayam, brokoli, dan sayuran lainnya.
Bahkan dinyatakan kandungan flavonoid daun kelor lebih tinggi (327,2 ± 13,8
mg/100 FW) dibandingkan 19 sayuran yang biasa dikonsumsi dalam kemasan salad
(3,8 - 191 mg/100 g FW) di Spanyol," tandas Ridwan.
Flavonoid merupakan salah satu senyawa
polifenol yang baru-baru ini telah banyak dipelajari dan digunakan dalam bidang
kesehatan. Kandungan ini memiliki fungsi potensial sebagai antivirus /bakteri,
anti-diabetes, anti-kanker, anti-inflamasi dan untuk pengobatan penyakit
degeneratif, tetapi terutama memiliki berfungsi sebagai antioksidan.
Sebagai senyawa fitokimia, flavonoid
tidak disintesis pada tubuh manusia ataupun hewan. Biosintesis flavonoid
terjadi di hampir bagian tanaman, terutama dalam sel fotosintesis. Kelor
merupakan salah satu tanaman yang telah diketahui mengandung senyawa flavonoid
dengan aktivitas antioksidan yang tinggi. Namun, kandungan flavonoid tanaman
ini sangat bergantung pada kondisi lingkungan, seperti suhu, cahaya intensitas,
dan ketersediaan air.
"Perlu diketahui, kelor yang tumbuh
pada musim kemarau kandungan flavonoidnya lebih tinggi dibandingkan pada musim
hujan. Bahkan dilaporkan konsentrasi flavonoid dalam daun kelor
juga meningkat saat diperlakukan dengan menahan air selama 30 hari. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kandungan flavonoid pada Daun kelor dapat
ditingkatkan dengan mengurangi air ketersediaan melalui pengolahan stres
air," ungkap Ridwan.
Dari penelitian yang pernah dilakukan,
Ridwan mengungkapkan perlakuan kekeringan, terutama cekaman kekeringan yang
ringan hingga sedang (50-80 persen kapasitas lapang)dapat menginduksi
peningkatan senyawa flavonoid tanpa menurunkan pertumbuhan dan produksi
biomassa yang signifikan. Pada cekaman kekeringan yang lebih parah, tidak hanya
produksi biomassa yang menurun, namun juga kandungan senyawa flavonoidnya.
Cekaman kekeringan yang ringan-sedang
dapat direkomendasikan sebagai metode irigasi yang efektif dan efisien dalam
budidaya kelor untuk menghasilkan biomassa daun berkualitas tinggi, yang dapat
digunakan sebagai bahan pangan fungsional dan obat-obatan untuk mengobati
penyakit degeneratif. Namun, Ridwan mengingatkan penelitian lebih lanjut
tentunya masih sangat diperlukan. (infopublik - Sumber dan Foto: Humas BRIN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.