Jakarta, Anetry.Net – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza mengatakan penggunaan artificial intelligence (AI) dalam bentuk aplikasi ChatGPT mendorong semakin besarnya urgensi penguasaan kemampuan berpikir kritis atau critical thinking memadai di kalangan siswa.
ChatGPT adalah robot atau chatbot
berbasis kecerdasan buatan yang mampu melakukan percakapan dan memberikan
jawaban terhadap kebutuhan serta pertanyaan penggunanya.
GPT merujuk pada Generative Pre-Trained Transformer di mana chatbot akan memberikan jawaban persis manusia di saat pengguna
mengirimkan perintah atau pertanyaan. Jawaban yang diberikan berbentuk teks
otomatis.
“ChatGPT memberikan kemudahan bagi siswa untuk
proses belajarnya. ChatGPT dapat membantu mereka untuk memahami materi
pembelajaran melalui jawaban-jawabannya. Akan tetapi, sangat penting
menggunakan critical thinking skills untuk menggunakan
ChatGPT secara produktif dan tepat,” kata Nadia dalam keterangan pers, Rabu
lalu.
Dia mengatakan critical thinking bisa menjadi fondasi siswa untuk menggunakan
ChatGPT secara produktif, yaitu bijak menyeleksi dan menggunakan jawaban yang
dihasilkan ChatGPT untuk membantu mereka dalam proses belajar. ChatGPT hanya
merupakan salah satu inovasi teknologi yang salah satunya berdampak
pada sektor pendidikan.
Pengembangan kemampuan berpikir kritis
akan membantu siswa mencerna dan memanfaatkan konten-konten yang mereka temui.
Nadia menyebut ketimbang melarang, yang lebih penting ialah bagaimana sekolah
dan guru-guru memberikan materi terkait literasi digital dan memperkenalkan AI
kepada siswa dengan lebih masif.
Sehingga, siswa menjadi lebih tahu apa
saja yang diperbolehkan dan tidak boleh dengan menetapkan koridor. Nadia
menuturkan koridor ini penting karena ChatGPT atau language model platform dapat digunakan untuk kecurangan akademis,
seperti plagiarisme berbasis kecerdasan buatan.
“Jadi, memang lebih baik sekolah
memperkenalkan teknologinya seperti apa memberikan koridor atau mungkin ruang
untuk apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dan kemudian ya bisa evaluasi
dari peraturan yang dibuat oleh sekolah dan guru tersebut,” ujar Nadia.
Nadia menilai kekhawatiran terkait
plagiarisme dan berbagai praktik kecurangan dalam pendidikan dengan bantuan
kecerdasan buatan kurang beralasan. Sebab, praktik serupa, misalnya joki ujian
sudah berlangsung jauh sebelum ada ChatGPT.
Dia mengusulkan ketimbang melarang,
pemerintah sebaiknya fokus pada kebijakan yang bertujuan memfasilitasi atau
bahkan memperkenalkan ChatGPT sebagai bentuk perubahan teknologi yang masuk ke
sektor pendidikan. Nadia mengatakan disrupsi teknologi pada sektor pendidikan
akan terus terjadi sehingga kemunculan satu demi satu inovasi tidak perlu
dikhawatirkan.
Nadia mengatakan di satu sisi kita perlu
terbuka terhadap teknologi. Namun, kita juga mesti tetap mengembangkan
skill-skill yang tidak akan tergantikan oleh teknologi, seperti skill berpikir
kritis.
“ChatGPT ini juga dapat menjadi cambuk
bagi sektor pendidikan untuk terus berbenah dan meningkatkan kualitas sumber
daya manusia yang terlibat di dalamnya,” tutur Nadia.
Dia menyebut cara mengembangkan
kemampuan berpikir kritis merupakan respons adaptif untuk mengakomodasi
teknologi dengan cara produktif. Sehingga, pada akhirnya akan berdampak baik
terhadap students
outcome. (medcom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.