Jakarta, Anetry.Net – ‘Anda sebagai juri, harus ingat anak-anak kita.’ Demikian sebut seorang pimpinan di sekolah negeri rimba belantara itu mengingatkan salah seorang guru yang akan menjadi juri lomba pada salah satu iven tingkat kampung.
‘Kalau si A, katanya ngikutin kamu aja, dia mah gampang orangnya.’
Timpal salah seorang rekannya yang lain ikut memberi semangat agar pesan
‘penting’ Sang Pimpinan barusan
dilaksanakan.
Briefing menjelang siang itu bubar setelah ditetapkan siapa pendamping dan apa saja
tugas masing-masing untuk keesokan harinya pada pelaksanaan lomba.
Itulah suasana di salah satu wilayah pelosok yang masih berkutat dengan budaya tipu-tipu
dan menghalalkan segala cara demi meraih prestasi, walau hanya di tingkat
kampung se-rimba belantara, yang bagi orang lain di luar sana bukanlah hal
penting.
Budaya tidak sportif
alias tipu-tipu yang sekeluarga dengan kongkalingkong atau kolusi itu, ternyata
masih saja mewarnai dunia ini. Tak terkecuali pada dunia pembangunan manusia
itu sendiri.
“Kita melihat ini sudah
mengakar di sebagian tempat. Karakternya sudah terbentuk. Apapun dilakukan
dengan proses like and dislike, yang berkuasa yang menang. Seperti hukum rimba
saja,” demikian ungkap pimpinan lembaga Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (P3SDM) Melati, Nova Indra, yang menanggapi selentingan
negatif tentang kabar lomba yang jurinya sudah diseting sedemikian rupa.
Menurutnya, entah
pendidikan karakter mana yang akan berhasil di negeri ini bila para ‘tukang
transfer’ pengetahuan dan karakter itu sendiri sudah ‘rusak’ lebih dulu.
“Tidak ada lagi
harapan untuk menjadi lebih baik. Hancur sudah pembangunan karakter generasi
kita ke depan bila diisi oleh mereka-mereka seperti kisah di atas,” sambungnya.
Dunia pendidikan,
lengkap dengan pembudayaan alias pembiasaan hal-hal positif, kadang memang
rusak dari dalam.
“Kata orang tua zaman
dulu, ikan itu busuk dari kepala. Kalau sudah demikian, jangan harap ada
kebaikan yang akan kita dapatkan di kemudian hari. Semua dihalalkan,
kecurangan, kolusi, nepotisme, melahirkan bibit-bibit koruptif di segala
bidang,” paparnya.
Menurutnya, terlalu
sulit untuk berharap bagaimana
pembangunan manusia seutuhnya bila ditangani oknum yang rusak mental, tanpa
peduli aturan dan tidak memiliki ‘rasa’ yang baik. (Penulis: NITM/ilustrasi: Google Images)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.