Kupang, Anetry.Net – Beberapa waktu lalu, seorang bocah bernama Caesar Archangel Hendrik Meo Tnunay atau Nono menjadi viral di Indonesia dan di jagad maya. Bocah berusia 7 tahun itu berhasil menjuarai International Abacus World Competition 2022.
Prestasi yang membanggakan sekaligus
mengharumkan nama bangsa dan negara. Lebih istimewa lagi sang juara ini
ternyata berasal dari daerah yang selalu berada di papan bawah di bidang
pendidikan, Nusa Tenggara Timur.
Dalam beberapa wawancara di stasiun
televisi tersirat maupun tersurat bahwa ternyata bisa ada prestasi yang mampu
diukir anak dari daerah dengan banyak keterbatasan.
Ada masalah
Agaknya anggapan tadi cukup beralasan
mengingat daerah NTT atau pun kebanyakan daerah Indonesia timur pada umumnya
sering kali dililit oleh persoalan pendidikan. Selain melilit, persoalan ini
merentetkan juga banyak persoalan lain, baik itu kesehatan maupun ekonomi.
Di daerah seperti NTT atau kebanyakan
daerah timur Indonesia, selain topografi yang menantang, kondisi ekonomi pun
mengkhawatirkan. Belum lagi dengan kondisi aspek kesehatan yang jarang berada
pada kondisi baik. Tahun 2022, NTT sudah didapuk menjadi provinsi dengan penduduk
rawan terkena stunting (bkn.go.id, 2022).
Persoalan-persoalan infrastruktur maupun
kualitas pendidikan di daerah Timur sudah seperti lagu lama yang dirasakan
biasa. Tahun 2009, misalnya, Sirilus Belen dengan artikelnya Menukik Lebih
Dalam, mendeskripsikan peringkat sekolah dasar di NTT yang menempati rangking
ke 30 dari 33 provinsi di Indonesia (Kleden & Madung, 2009).
Berhadapan dengan situasi ini, ada
sekolah yang melakukan berbagai cara dengan pembenaran untuk menyelamatkan
wajah sekolah. Banyak yang tidak berpikir bahwa meskipun kondisi dan kinerja
sistem persekolahan bisa diselamatkan, namun peserta didik atau generasi muda
yang dihasilkan adalah generasi muda dengan pendidikan seadanya.
Dalam istilah orang NTT, generasi
pele-pele angin. Eksistensi generasi yang seadanya ini, terus diproduksi dan
semakin subur pun menjamur ketika bangsa ini memasuki masa Covid 19.
Oase
Pendidikan
Meskipun demikian, di tengah karut-marut
persoalan di atas, prestasi Nono seperti menjadi oase di tengah gurun atau
banyaknya persoalan pendidikan di NTT atau di wilayah Timur Indonesia.
Kemenangan seorang anak kecil di level internasional menunjukkan bahwa asa bisa
terus dijaga di tengah situasi sulit.
Walaupun mengalami banyak kesulitan dan
tantangan, sebagaimana pengalaman sang juara menunjukkan, bukan hal yang
mustahil apabila ada usaha. Meskipun demikian, orang tidak boleh hanya melihat
dan mengagumi oase saja.
Tidak boleh hanya berhenti mengapresiasi
prestasi yang dibuat Nono. Situasi di sekitar mesti tetap diperhatikan, karena
kondisi dan permasalahan pendidikan harus tetap menjadi hal yang perlu
ditanggapi secara serius.
Hal ini penting untuk menghindari
kecenderungan selebrasi yang kemudian menghilangkan substansi untuk melihat
persoalan-persoalan krusial di bidang pendidikan. Banyak pihak yang bahagia,
bangga, dan turut memviralkan sang pemenang tanpa mendampingi proses sampai
pada juara.
Viralnya Nono tidak boleh mengaburkan
posisi atau kondisi pendidikan di NTT dan wilayah Indonesia timur lain yang
gersang dan mengkhawatirkan. Bertolak dari situasi ini juga, penting untuk
diperhatikan bahwa persoalan pendidikan bukanlah persoalan pemerintah saja.
Persoalan ini mesti menjadi persoalan
bersama, entah itu menjadi milik keluarga atau masyarakat luas yang harus
diatasi bersama. Di tengah keluarga, misalnya, sosok seperti Nono tidak mungkin
ada jika tidak ada orangtua yang membantu dan mendukung prestasinya.
Dengan langkah itu, euforia dan berbagi
kebahagiaan atas prestasi, tidak dengan serta merta menghilangkan rentetan
permasalahan yang ada di daerah timur Indonesia. Sebab, sebuah oase hanya
penting karena ada gurun tandus di sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.