Anetry.Net – Dunia pendidikan Indonesia kini tengah berkembang menuju arah yang lebih baik. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk hal itu.
Berbekal keyakinan
bahwa guru adalah pendidik yang dapat menerima perubahan paradigma
pembelajaran, pemerintah menggelontorkan berbagai program melalui Kementerian
Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek).
Kurikulum Merdeka
salah satunya. Kini, pasca pandemi Covid-19, kurikulum besutan Mendikbud Nadiem
Makarim itu telah dilaksanakan oleh ratusan ribu sekolah di tanah air pada
berbagai jenjang, mulai dari TK, SD/MI, SMP/Mts, SMK/SMA/MA. Tak ketinggalan
pula pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) turut
mengimplementasikannya.
Untuk kukrikulum baru
tersebut, biarlah menjadi domain pihak-pihak pemangku kepentingan yang menggawanginya
hingga bisa dilaksanakan oleh guru secara baik di lapangan. Walau selentingan
keluhan terus berkembang dari daerah-daerah terhadap implementasi yang seolah
tak ada kejelasan dan aturan baku itu.
Kini, di zaman yang
kian maju dan terus bertumbuhnya teknologi digital, guru tentunya harus
memaknainya dengan kinerja dan terus memperkaya diri dengan keterampilan. Namun
tidak pula seluruhnya yang bisa mencerna dengan sesuatu yang pada tempatnya.
Masih saja ada tontonan gratis yang disaksikan peserta didik di ruangan-ruangan
sekolah, tentang guru yang terlibat sesuatu yang sebenarnya tak layak ada.
Pembaca pasti pernah
mengetahui di beberapa kisah pembuatan film, para pelakon terlibat cinta lokasi
antar sesamanya. Tak jarang mereka menampilkan perilaku yang menjadi
pemberitaan di media-media gosip tanah air.
Ternyata hal itu bukan
saja terjadi di dunia entertainmen, bahkan di dunia pendidikan juga kerap
terlihat. Cinta lokasi yang terjadi kadang menjadi perbincangan di kalangan
pendidik.
Adagium Minang
menyebut, abih gali dek galitik, abih
raso dek biaso (tidak lagi geli karena biasa digelitik, tidak ada rasa
karena sudah biasa), kiranya menjadi benar bila disandingkan dengan
kejadian-kejadiaan yang terlihat di lapangan.
Sangat disayangkan,
kejadian-kejadian itu terjadi antara mereka yang sudah memiliki ‘gerbong’ di
belakangnya. Terjadi pada mereka yang notabene tidak lagi berstatus beas
mencari pasangan hidup.
Namun, bagi yang
menjadi pelaku, seolah turut melegitimasi hubungan tesebut dengan
mempertontonkan kebersamaan, bahkan ‘kemesraan’ di depan peserta didik. Hal ini
jelas bukan teladan yang baik.
Seorang teman berkata,
“anda boleh saja seorang yang buruk laku, tapi simpanlah hanya untuk anda
sendiri. Jangan jadikan itu tontonan bagi anak didik anda. Karena bila sudah dipertontonkan,
jangan salah bila orang lain akan meluruskannya dengan cara yang pasti anda
anggap merugikan.”
Pendidik di tanah air
perlu mawas diri. Menjaga marwah dan perilaku akan mencerminkan setinggi apa
harga diri yang dimiliki. Karakter baik yang dicita-citakan untuk generasi,
apalagi dengan adanya program penguatan karakter serta profil pelajar
Pancasila, hanya bisa didapatkan bila pendidik juga memiliki karakter yang
sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.