Jakarta, Anetry.Net – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai bahasa dan sastra memiliki fungsi lebih luas. Salah satunya, mengeksistensi kebudayaan Tanah Air.
"Bahasa
dan sastra sebagai agen kebudayaan ini kami lihat di BRIN sebagai seksistensi
sastra yang perannya luar biasa dalam perjalanan berbangsa dan kehidupan,"
kata Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) Herry
Yogaswara dalam webinar BRIN, Senin (10/10).
Herry menyebut sebagai lembaga riset, BRIN mewadahi
riset arkeologi, bahasa, dan sastra yang perspektif untuk kemajuan bangsa dan
negara. Dia menyebut sastra Indonesia dan daerah merupakan
lahan subur riset dan pertukaran gagasan ilmiah.
Ia menuturkan dengan keragaman latar belakang
suku bangsa dan budaya, kearifan lokal dan nilai kemanusiaan yang terkandung di
dalam sastra Indonesia menyimpan begitu banyak potensi riset. Hal itu berguna
demi pengembangan karakter manusia Indonesia.
"Ketika
kita bicara kondisi sastra sekarang, dari sejarah sampai kecanggihan teknologi,
dari masa lalu hingga masa depan, dari generasi yang kita sebut baby boomers
hingga millennial, semua mewujud dalam karya sastra kita. Tidak hanya membuat
masyarakat kita bangga, tetapi juga membuat masyarakat dunia kagum,” jelas
Herry.
Herry
mengungkapkan ada tiga program prioritas yang diusung oleh Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa Kemdikbusristek yang
sejalan dengan BRIN. Ketiga program tersebut, ialah penguatan literasi,
perlindungan bahasa dan sastra, dan peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi
bahasa internasional.
“Tentunya riset
yang dilakukan oleh peneliti bahasa dan sastra yang ada di BRIN, tidak hidup di
ruang kosong. Ia harus hidup dalam ruang kemanfaatan ketika memproduksi ilmu
pengetahuan,” papar Herry.
Ia menyebut dalam ekosistem BRIN, riset-riset
sastra ?akan tersistem dengan baik. Mulai dari Pusat Riset, Organisasi Riset,
kemudian organisasi BRIN secara besar, dan jejaring perguruan tinggi, lembaga
riset independen, hingga jejaring global.
“Karena kita
akan mempunyai mata, telinga, dan hati di berbagai daerah yang dapat menangkap
persoalan kebudayaan yang khas daerah masing-masing. Peneliti harus gaul dan
blusukan untuk mengetahui denyut kehidupan masyarakat,” tegas Herry. (sumber: medecom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.