Jakarta, Anetry.Net – Perubahan paradigma pendidikan yang dibangun oleh Kemdikbudristek, seharusnya diikuti oleh seluruh elemen pendidikan termasuk guru.
Kehadiran guru
merupakan harapan utama bagi keberlangsungan proses pendidikan di berbagai
jenjang. Karena itu, dengan berubahnya pola dan paradigma pendidikan, paradigma
guru juga mesti berubah lebih maju.
Sebagai contoh, saat
kurikulum baru dengan nomenklatur Kurikulum Merdeka, mengedepankan Projek Penguatan
Profil Pelajar Pancasila (P5). P5 adalah projek yang akan menemukan jawaban atas
pertanyaan mengenai peserta didik dengan kompetensi seperti apa yang ingin
dihasilkan oleh sistem pendidikan Indonesia.
Projek tersebut
dilakukan dengan menanamkan karakter pada pribadi peserta didik berdasarkan
nilai-nilai pancasila.
Kompetensi P5
memperhatikan beberapa faktor yang dapat memberikan pengaruh, baik faktor
internal atau faktor eksternal. Adapun contoh faktor internal yang diperhatikan
adalah ideologi, sementara contoh dari faktor eksternal adalah tantangan di era
digital.
Nah,
di sinilah awalnya sebuah masalah baru muncul di tengah proses pembelajaran
yang berlandaskan P5 itu sendiri. Bila peserta didik diarahkan pada penguatan
nilai-nilai yang terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila, bagaimana dengan
guru itu sendiri?
Di
tengah peradaban zaman yang kian maju, tak pelak membuat setiap orang juga
harus berkembang mengiringi. Termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan
teknologi yang digaungkan pemerintah dengan Gerakan Literasi Digital Nasional
(GLDN).
Untuk
menuju P5, dalam hal ini sudahkah guru-guru Indonesia memiliki Profil Guru
Pancasila itu sendiri? Sudahkah guru-guru mampu mengedepankan kecakapan dan
bernalar kritis sebagai salah satu item penting dalam profil pelajar pancasila
yang akan dibimbingnya sehari-hari?
Nalar
kritis bagi guru menjadi keniscayaan dalam keseharian. Namun secara etika,
nalar kritis harus disertai dengan kemampuan bernalar dengan baik dan ditujukan
pada hal-hal baik, bukan malah mengarah pada nilai-nilai yang bisa dianggap
kebodohan.
“Sering
kita temui guru-guru yang tidak melek informasi. Bahkan urusan undang-undang
yang sedang digarap oleh pemerintah tentang profesinya sendiri, mereka tidak
peduli. Ada pula yang dengan remehnya menganggap informasi-informasi tentang
itu tidak perlu didengarkan, ini memalukan,” demikian ujar Nova Indra, CEO
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (P3SDM) Melati, kepada
media Anetry.Net saat bincang redaksi, Kamis (22/9).
Menurutnya,
kalau peserta didik diarahkan pada profil ber-Pancasila, seharusnya
guru-gurunya juga memiliki profil kepancasilaan yang baik.
“Kalau
guru tidak mau bernalar kritis tentang sesuatu yang berkaitan dengan diri dan
profesinya, lalu bagaimana ia mengajar peserta didiknya? Saya khawatir
orang-orang seperti ini hanya menjadi guru ala kadarnya saja tanpa bisa
membantu pemerintah mencerdaskan generasi bangsa,” tegasnya.
Sebagai
contoh, lanjutnya, saat ini guru harus lebih melek komunikasi digital termasuk
pemberitaan dan informasi yang berkaitan dengan pendidikan. “Guru jangan
percaya video-video Youtube yang berseliweran entah dibuat siapa, tapi
sayangnya mereka kadang lebih percaya itu dibandingkan pemberitaan oleh media
terakreditasi sebagai bagian dari dunia pers yang harus ikuti aturan,” sambungnya.
Karena
itu, kata pria yang juga pemilik jurnal ilmiah nasional itu, guru harus mebuka
mata lebih lebar dengan belajar dan terus belajar memperkaya diri dengan
informasi.
“Jangan
anggap remeh informasi yang berkaitan dengan profesi dan kependidikan. Kalau
nanti buta informasi, anda para guru akan dicibir peserta didik kemudian hari,”
pungkasnya. (*/tim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.