Anetry.Net – Persoalan demi persoalan tentang Kurikulum Merdeka terus bergulir di kalangan guru, dan di saat yang sama Kemdikbudristek juga tetap melakukan monitoring implementasi kurikulum baru tersebut.
Salah satu persoalan
yang membuat miris ketika didengar dari cerita para guru adalah saat mana mereka
yang mengampu kelas menjalankan Kurikulum Merdeka tidak mendapat jawaban atas
pertanyaan yang dilempar kepada pemangku kepentingan.
“Tolong jelaskan pada
kami bagaimana sesungguhnya menjalankan kurikulum ini,” demikian ungkap salah seorang
guru yang juga mengemban tugas tambahan sebagai kepala sekolah di salah satu
sekolah dasar.
Permintaan dan harapan
yang tergambar dari kalimatnya itu, disampaikan pada pertemuan guru yang
dihadiri oleh salah seorang penanggungjawab kewilayahan. Kalimat itu tentunya
ditujukan kepada sang penanggungjawab kewilayahan karena dialah yang duduk di
depan sebagai narasumber pertemuan.
Apa dinyana, kalimat
yang dilontarkan itu hanya sampai di bunyinya saja. Permintaan tidak terjawab
dari sosok yang ada di depan tanpa rasa peduli, seolah tidak mendengar. Alih-alih
menjawab, sang narasumber meneruskan pembicaraan hebatnya.
Jadilah permintaan itu
mengambang di ruang yang digunakan untuk pertemuan. Entah akan dijawab siapa, entah
dinding atau para penghuni malam di ruangan itu yang akan mengajaknya
bercengkerama.
Miris sekali memang.
Siapa lagi yang bisa ditanyai tentang kurikulum baru itu oleh para guru? Bila
orang-orang yang dengan gaya hebatnya berbicara tentang projek Profil Pelajar
Pancasila, tentang mengampu kelas dengan Kurikulum Merdeka, tapi tidak mendengarkan
permintaan guru.
Atau mereka tidak mengerti sama sekali tentang kurikulum baru itu? Ada-ada
saja. Kemana lagi guru akan menyampaikan keluh kesahnya tentang semua persoalan
itu? Sementara bila ada pertemuan lain yang membahasa Kurikulum Merdeka,
narasumbernya seolah membaca buku saku yang diterbitkan kementerian saja.
Oh, inikah dunia pendidikan Indonesia yang katanya bisa memulihkan learning loss akibat pandemi Covid-19
yang mengantam dunia sejak dua tahun silam? Ataukah proyek kurikulum ini akan
jadi ‘pandemi’ baru tak berkesudahan bagi dunia pendidikan Indonesia?
Sebenarnya, ini adalah masa di mana Indonesia mempersiapkan generasi
emasnya di tahun 2045 nanti. Dan menuju masa itu, dengan bonus demografi yang
digadang-gadang akan memberi manfat besar bagi negara ini, proyek kurikulum baru
tersebut dirasakan menghambat pertumbuhan generasi.
Mengapa menghambat? Coba anda pikir, guru saja kebingungan dengan
pemahamannya, apalagi peserta didik yang akan mendengarkan celoteh guru di
depan kelas. Celoteh dari figur pendidik yang di kepalanya penuh dengan
pertanyaan; bagaimana seharusnya menjalankan kurikulum merdeka secara benar.
Entah, siapa yang akan menjawab semua pertanyaan mereka para pendidik yang
dibebani tanggungjawab tersebut. Atau ini hanya akan menguap begitu saja sama
seperti menguapnya Covid-19 yang kian jauh dari negeri ini. (*/ni/ilustrasi: freepik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.