Anetry.Net – Implementasi Kurikulum Merdeka telah berjalan di sekolah-sekolah di negeri ini. Lebih dari 140ribu satuan pendidikan yang terdaftar di Kemdikbudristek menjalankan kurikulum tersebut.
Pemerintah Daerah pun
mendukung pelaksanaan program kurikulum yang digadang-gadang mampu mencetak
generasi cerdas melalui fokus pembelajaran pada bakat dan minat peserta didik.
Bagaimana dengan guru?
Pertanyaan ini sepertinya sederhana saja, tetapi jawabannya mungkin bisa
beragam sesuai kondisi dan keadaan orang-orang yang berupaya memberi jawaban.
Sudahkah guru merdeka melalui kurikulum yang kemunculannya tidak dibarengi
dengan kajian naskah akademik tersebut?
Bahkan Komisi
X DPR RI menilai implementasi Kurikulum Merdeka masih memerlukan kajian
akademis dan evaluasi komprehensif. Kajian tersebut melingkupi pertimbangan
kondisi sosiologis dan kemampuan pendidik serta tenaga kependidikan. Hasilnya, Komisi X DPR RI melalui Panja Pendidikan Vokasi, Panja Pembelajaran
Jarak Jauh, Panja Peta Jalan Pendidikan dan Panja Merdeka Belajar Kampus
Merdeka pun telah memberikan rekomendasi.
Hasil
rekomendasi Panja yang telah dilaksanakan Komisi X DPR RI sebelumnya, sebagian
besar memberikan penegasan terkait lemahnya landasan hukum kebijakan pendidikan
yang dikeluarkan oleh Kemdikbud Ristek, baik dari sisi tidak adanya kajian
akademik atau naskah akademik, kemudian dasar filosofis yuridis maupun
sosiologis dan ketidaksesuaian dengan peraturan pendidikan yang lainnya.
Wakil
Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih dalam rapat dengar pendapat Komisi
X DPR RI bersama jajaran Kemdikbudristek RI awal bulan Juli menyatakan, perubahan
satu kebijakan dalam hal ini kurikulum baru, membutuhkan evaluasi menyeluruh
terhadap implementasi kurikulum sebelumnya. perubahan kurikulum tersebut tidak
hanya berdampak pada proses pembelajaran di kelas saja, namun juga aspek
lainnya.
Menurut
Wakil Ketua Komisi X itu, perubahan kurikulum tidak hanya berdampak pada proses
pembelajaran di kelas saja. Namun juga bagaimana mempersiapkan guru,
menyediakan panduan buku-buku referensi, sosialisasi terhadap tindakan guru
dari orang tua wali murid, dan ketersediaan sarana prasarana pendukung.
Kini, dengan
berjalannya kurikulum merdeka itu, sekian banyak guru, terutama mereka yang
mengajar di jenjang sekolah dasar mulai mengeluhkan ragam masalah yang muncul
sejak kelas yang diampunya menjalankan kurikulum tersebut.
Apa saja masalah yang
dialami oleh guru? Pertama, tidak
adanya kejelasan tentang sikap apa yang harus diambil guru dalam menjalankan
kurikulum ini. Mengapa demikian? Kurikulum yang katanya memerdekaan cara
mengajar dan belajar itu, ternyata tidak ‘merdeka’ seperti yang diucapkan dalam
sosialisasi-sosialisasi.
Bahkan dalam
sosialisasi sekalipun kejelasan tentang bagaimana kurikulum ini berjalan, pun
tidak dapat mencerahkan pemikiran guru. Setiap narasumber dalam sosialisasi,
ada yang hanya menerangkan bahwa kurikulum merdeka adalah kurikulum yang
berbeda cara mengajarnya. Ada pula yang menganalogikan antara mengajar anak dan
cucu.
Hal itu menjadi sangat
lucu. Para pemangku kepentingan yang diberi amanah oleh pemerintah, baik pusat
dan daerah, diberi dukungan dana melalui anggaran kegiatan sosialisasi,
ternyata tidak mampu memberikan pencerahan yang memerdekakan cara berpikir guru
yang diharapkan mampu mengaktualisasikan kurikulum tersebut.
Kedua, guru ternyata harus mengikuti berbagai aturan yang didapati melalui
arahan yang diberikan dalam sebuah platform yang disebut dengan Platform Merdeka
Mengajar (PMM). DI dalam platform tersebut, guru melalui tahapan-tahapan dengan
menonton video-video dengan host bergantian.
Tontonan itu pun ikut
membuat guru pusing tujuh keliling, bahkan mungkin lebih. Kenapa demikian?
Dalam video-video tersebut guru dicekoki hal-hal yang makin membuat guru
‘takut’ dengan kurikulum merdeka ini. Rasa ‘takut’ itu tentu sebagian dari
indikator tidak ‘merdeka’.
Bahkan ada daerah
melalui kelompok-kelompok guru, memberikan penekanan bahwa harus menonton
video-video di PMM. Seolah guru yang mengampu kurikulum ini kembali dimasukkan
ke dalam kelas khusus yang ditekan sedemikian rupa untuk mempelajari hal-hal
mengambang.
Ketiga, pimpinan satuan pendidikan seakan tidak mau tahu tentang
penyelenggaraannya. Kepala sekolah hanya menekankan bahwa di sekolah yang
dipimpinnya kurikulum baru ini harus berjalan. Tanpa ia tahu apa seharusnya yang
dilakukan, baik urusan sarana prasarana maupun bagaimana membimbing guru agar
lebih paham. Atau ini mungkin gambaran bahwa kepala satuan pendidikan itu
sendiri (di daerah tertentu), tidak tahu sama sekali tentang kurikulum merdeka.
Berdasarkan tiga
keadaan di atas, apa yang bisa disimpulkan? Pemahaman pertama adalah, wajar
saja Komisi X DPR RI menyampaikan bahwa kurikulum merdeka ini belum layak
diimplementasikan. Hal itu disebabkan selain tidak adanya naskah akademik dan
ini dianggap melanggar Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Kesimpulan kedua,
hanya peserta didik yang dimerdekakan, bahkan dalam sosialisasi disebutkan
bahwa peserta didik dibiarkan untuk melakukan pembelajaran ‘semaunya’ saja
tanpa harus diatur oleh guru. Sedangkan diatur saja peserta didik masih malas
belajar dan tidak berhasil, apalagi saat mereka dibebaskan cara belajarnya.
Lucu memang.
Selanjutnya, guru
benar-benar tidak merdeka dalam kurikulum ini, bahkan dibuat kebingungan dengan
segala bentuk aturan yang berbeda di tiap kesempatan pelaksanaan pencerahan
yang tidak mencerahkan.
Mau dibawa kemana
pendidikan negeri ini bila perubahan-perubahan kurikulum pendidikan menyisakan
masalah? Guru sebagai ujung tombak pencetak generasi bangsa pun telah menjadi
bulan-bulanan program yang semakin tidak ada kejelasannya.
Mungkin ada baiknya
kembalikan saja pada aturan yang lebih awal. Jangan teruskan kurikulum yang melanggar
Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan ini.
Penulis: Nova Indra (Penulis, Pesilat, Pemerhati
Pendidikan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.