Jakarta, Anetry.Net – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bersifat "Omnibus Law."
Hal itu dikarenakan akan menggantikan 3 UU sekaligus
yaitu UU Guru dan Dosen, UU Sisdiknas, dan UU Pendidikan Tinggi. Tapi menurut
P2G ada keanehan, karena Kemdikbudristek tidak memasukkan UU lain yang
berkorelasi dengan sistem pendidikan nasional, mengingat RUU ini bersifat
omnibus.
Menurut Dewan
Pakar P2G, Rakhmat Hidayat mengatakan, dalam catatan P2G, lebih dari 10 UU yang
relevan berkaitan langsung maupun tak langsung dengan sistem pendidikan
nasional. Seperti UU Pondok Pesantren, UU Pendidikan Kedokteran, UU Pendidikan
dan Layanan Psikologi, bahkan UU Pemerintah Daerah.
Dalam konsideran
RUU Sisdiknas poin "menimbang" huruf c dan d, dijelaskan bahwa,
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional." Ini membuktikan Kemendikbudistek ingin membentuk satu sistem
pendidikan nasional melalui satu UU bersifat omnibus.
Jika Kemdikbudristek
ingin membentuk satu sistem pendidikan nasional, kenapa hanya memasukkan 3 UU
pendidikan saja dalam RUU Sisdiknas. Padahal masih banyak lagi UU
pendidikan seperti UU Pesantren, UU Pendidikan Kedokteran.
"Apakah
Pesantren bukan bagian dari satu sistem pendidikan nasional? Ini namanya
omnibus law setengah hati," cetus Koordinator Nasional P2G, Satriwan
Salim.
P2G khawatir
pembahasan RUU SIsdiknas ini akan bernasib sama dengan UU IKN dan UU
Ciptakerja. Pemerintah dan DPR terbukti mengebut pembahasan sampai
pengesahannya.
Sehingga banyak
dikritik oleh civil society karena tidak partisipatif. Padahal
prasyarat pastisipasi publik yang bermakna adalah mutlak berdasarkan putusan MK
tahun 2020.
"Kami
khawatir, pembahasan RUU Sisdiknas dipaksakan, pembahasannya dikebut untuk
cepat disahkan. RUU Sisdiknas akan menjadi RUU Roro Jongrang istilahnya, sistem
kebut semalam langsung jadi, begitu kira-kira analoginya," lanjut
Satriwan.
P2G berharap kepada
pemerintah dan DPR jangan terburu-buru membahas RUU ini. Produk UU Sisdiknas
tidak akan berkualitas hasilnya dengan sistem kerja yang grasa-grusu (terburu-buru).
Terbukti dalam draf
awal RUU Sisdiknas Februari lalu, kata "madrasah" hilang dalam draf
RUU, ini tentu sangat fatal akibatnya. Padahal UU ini akan menentukan kualitas
sumber daya manusia Indonesia serta masa depan bangsa dan negara.
Sekitar 40 persen
penduduk Indonesia Generasi Z dan Alpha hampir 100 juta orang jumlahnya,
ditambah 3,2 juta guru, belum lagi dosen dan tenaga kependidikan. Jangan
sampai keteledoran, serupa ini tak terulang lagi.
Sebelumnnya,
pemerintah telah resmi mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) Prioritas Perubahan Tahun 2022 kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Usulan tersebut disampaikan dalam pada Rapat Kerja Pemerintah dengan
Badan Legislasi, Rabu, 24 Agustus 2022.
Kepala Badan
Standar, Asesmen, dan Kurikulum Pendidikan (Ka. BSKAP) Kemdikbudristek,
Anindito Aditomo mengatakan, RUU Sisdiknas mengintegrasikan dan
mencabut tiga Undang-Undang terkait pendidikan.
Ketiga UU tersebut
adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Tenaga Kependidikan, dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. (sumber: medcom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.