Kabupaten Bandung, Anetry.Net – Angka kekejaman terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Bandung mengalami peningkatan.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk
Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak ( P2KBP3A),
Muhammad Hairun menyebut, pada 2020 terdapat 82 kasus kekejaman terhadap perempuan
dan anak. Jumlah ini naik di 2021 menjadi 85 kasus.
"Untuk tahun 2022 masih dalam
pendataan belum terkaver semua," ujar Hairun seperti dikutip dari Kompas.com, Kamis (25/8).
Sementara itu menurut data yang dirilis Kompas dari Kepala
Bidang Perlindungan Anak Dinas DP2KBPP, Fitri pada akhir bulan lalu, kasus
kekerasan terhadap anak di Kabupaten Bandung pada tahun 2022 meningkat.
Tercatat hingga bulan Juni, terdapat 124 kasus menyangkut tentang anak. Kasus
tersebut berupa kekerasan terhadap anak atau pelecehan seksual.
Melihat hal itu, Peneliti Pusat Riset
Gender dan Anak Universitas Padjadjaran (Unpad), Antik Bintari mengatakan,
ruang publik di Indonesia masih belum aman. Baik sekolah, kampus, atau apapun
yang disebut sebagai lembaga pendidikan, termasuk pesantren belum masuk
kategori aman.
"Karena sejauh ini, banyak terjadi
hal-hal yang sifatnya mengerikan juga seperti pelecehan dan kekejaman seksual," tutur
Harun dihubungi Kamis (25/8).
Antik mengungkap, pelecehan termasuk dalam budaya
kekejaman.
Budaya tersebut, sambung dia, diawali dengan adanya relasi kuasa yang timpang. "Jadi pasti ada suatu kelompok yang memiliki kekuatan untuk
melakukan sesuatu yang dianggap dia bisa lakukan," jelasnya.
Budaya tersebut, bisa tergambarkan dalam
lingkungan pendidikan. Hingga kini, sambung dia, guru, dosen, atau ustad
dianggap sebagai relasi kekuasaan dan dianggap paling mampu melakukan hal itu.
Situasi kuasa yang timpang ini, kemudian disalahgunakan sebagian oknum untuk
isu seperti ini.
"Yang biasanya dianggap sebagai
orang yang dituakan itukan otomatis punya kuasa yang lebih tinggi. Dia punya
kuasa, yang mungkin anak-anak pun tidak akan menolak jika mereka meminta
sesuatu, karena ketakutan," jelas Antik.
Dalam perspektif kuasa yang lebih
tinggi, sambung dia, kelompok perempuan, anak, lansia serta disabilitas adalah
kelompok rentan yang sering kali menjadi sasaran pemilik kuasa tinggi tersebut.
Apalagi, jika pemilik kekuasaan tersebut adalah laki-laki yang dalam budaya
patriarki dianggap gender yang paling tinggi.
"Pasti ini akan berdampak pada mereka yang rentan dalam situasi tertentu. Jadi kasus ini, diakibatkan karena adanya kuasa yang timpang, dan budaya patriarki, bahwa laki-laki bisa melakukan yang seolah-olah dia bisa berkuasa terhadap tubuh seseorang," tuturnya. (sumber: kompascom/Foto: ilustrasi.net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.