Jakarta, Anetry.Net – Kurikulum Merdeka diharapkan menjadi jawaban atas krisis pembelajaran akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan learning loss dan meningkatnya kesenjangan pendidikan.
Lebih dari itu, esensi Kurikulum Merdeka itu sendiri adalah
menciptakan ruang bagi setiap individu untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah
keunikannya masing-masing.
"Karena setiap manusia tidak ada
produk gagal dari Tuhan, dan setiap manusia punya keistimewaan dan punya
‘ruang’ masing-masing yang disediakan secara fitrah. Dan tugas kita adalah
membantu anak menemukan ‘ruang’ yang sudah disediakan dalam kehidupan. Sehingga
tidak ada anak yang tidak punya tempat dalam kehidupan,” tutur Pelaksana tugas
Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Plt. Kapuskurjar) Zulfikri Anas.
Hal itu disampaikannya dalam Silaturahmi Merdeka Belajar yang bertajuk “Wujudkan Pelajar
Pancasila melalui Kurikulum Merdeka”. Acara tersebut disiarkan melalui kanal YouTube
Kemendikbud RI, Kamis (17/2) lalu.
“Sebelumnya, para guru kalau mendengar
kata kurikulum, itu yang terlintas adalah administrasi rumit, bertele-tele,
belenggu, dan seolah-olah tidak ada alternatif, semua anak dapat materi sama
dengan cara sama, pengalaman belajar dan sumber belajar yang sama, penilaian yang
sama, dan itu sehingga mungkin hanya mengakomodasi sebagian kecil anak yang
cocok dengan cara seperti itu,” ungkap Zulfikri.
“Kurikulum adalah sebuah proses, iklim,
suasana, budaya belajar yang memanusiakan manusia. Kita harus lihat kurikulum
dari situ. Sehingga, tidak hanya kemampuan (skills) atau pengetahuan siswa saja yang
dikedepankan oleh guru. Mari para guru kita bergerak bersama menyentuh hati
peserta didik kita,” ajaknya.
Oleh karena itu, dalam Kurikulum
Merdeka, guru diberi kebebasan untuk memilih format, pengalaman, dan materi
esensial yang cocok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan dari sisi
siswa, mereka punya ruang seluas mungkin untuk mengeksplor keunikan dirinya
masing-masing.
“Jadi kalau dulu orang bilang biasanya
ganti menteri ganti kurikulum, tapi ini sekarang ganti anak ganti kurikulum.
Jadi semua anak punya ‘kurikulum’ sendiri-sendiri sebetulnya,” tambah dia.
Lebih lanjut, Zulfikri menjelaskan cara
mengimplementasikan kurikulum ini. Pertama, guru harus mengenal siswanya terlebih
dahulu. Berikutnya, guru memetakan kompetensi siswa dalam bentuk portofolio.
Pada hari pertama di tahun ajaran baru, sebaiknya guru tidak langsung
menyampaikan materi tapi masuk dulu ke dunia anak untuk mengenal potensi dan
pemahaman mereka.
Setelah guru mempunyai gambaran atau
sebaran peta awal kemampuan anak, kemudian guru menyusun standar dari
masing-masing kompetensi anak serta mulai mengkreasikan proses pembelajaran.
“Misalnya untuk perkalian, anak yang
belum paham tentang perkalian bisa berkolaborasi dan beraktivitas dengan anak
yang sudah bisa. Kadang anak lebih cepat paham jika belajar bersama temannya,”
urainya.
Menurut Zulfikri, Kurikulum Merdeka
sangat memungkinkan terciptanya iklim kolaborasi yang baik antar sesama siswa.
“Anak-anak akan saling memahami, “Oh, saya lebih unggul di sini, kamu lebih
unggul di situ. Mari kita saling berkolaborasi”,” jelasnya antusias.
Terkait media pembelajaran, melalui
Kurikulum Merdeka, peserta didik diberi kesempatan untuk bereksplorasi secara
bijak dengan berbagai alat termasuk media digital yang menunjang pembelajaran.
Berbagai aplikasi digital yang berkembang sesuai tren, bisa dimanfatkan guru
dan siswa untuk membuat konten pembelajaran yang menarik dan efektif.
“Di sini juga memungkin terciptanya
kolaborasi tak hanya sesama guru atau sesama siswa saja namun juga antara guru
dan siswa,” imbuhnya. Dalam mendukung inovasi guru dalam pembelajaran,
Kemendikbudristek telah menyediakan platform Merdeka Mengajar.
Guna menyukseskan pemahaman masyarakat
tentang Kurikulum Merdeka, Kemendikbudristek telah menyediakan saluran
informasi melalui laman resmi serta melibatkan komunitas pendidik seperti
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Kelompok Kerja Guru (KKG), dan
lain-lain. Terlebih, mulai tahun ini Kurikulum Merdeka terbuka untuk diterapkan
di semua sekolah yang menginginkannya.
“Tapi sebelum menerapkan, sekolah harus
belajar dulu, memahami dulu, jangan tergesa-gesa memulainya hanya karena
melihat orang lain yang sudah mulai lebih dulu,” tegas Zulfikri.
Ia mengimbau kepada satuan pendidikan
untuk mempelajari bahan dan informasi di laman resmi Kemendikbudristek, maupun
melalui saluran informasi di daerah baik dinas pendidikan, komunitas pengajar,
guru, pengawas, dan organisasi/pegiat pendidikan.
“Pelatihan terbaik adalah tumbuh dari
dalam diri sendiri. Jika selama ini kita tergantung pelatihan berantai, dari
pusat, turun ke provinsi dan kabupaten/kota, akan mungkin terjadi distrorsi di
mana ujungnya yang tersampaikan hanya teknis administrasi dan mekanistis saja,”
ungkap dia.
Sebagai pendamping, baiknya para
pendidik memahami terlebih dulu hakikat anak, filosofi pembelajaran, dan
kurikulum. “Jika itu yang kita munculkan dari dalam diri para guru yakni
belajar dimulai dari diri masing-masing maka belajar maupun pelatihan tidak
harus menunggu dilatih. Melainkan dapat dimulai kapan saja dan di mana saja,”
terangnya.
Selain itu, yang tidak kalah penting
dalam mengatasi krisis pembelajaran adalah penguatan pola pikir dalam ekosistem
pendidikan. Pertama, menciptakan kesadaran seluruh warga sekolah untuk
berefleksi dan bergerak bersama dalam kolaborasi yang selaras guna mencapai
pembelajaran yang bermakna. Kedua, memberi ruang seluas-luasnya bagi anak untuk
berkreasi dan mengembangkan diri dalam menemukan jati dirinya agar menjadi
manusia yang bermanfaat di masa depan.
“Tolok ukur keberhasilan Kurikulum Merdeka adalah dari keceriaan (kebahagiaan) anak dan kemampuan mereka berkolaborasi menyelesaikan beragam persoalan. Bagaimana lembaga pendidikan mampu menciptakan budaya perilaku positif dalam mencetak SDM yang berkualitas dari waktu ke waktu sebagaimana nilai yang terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila,” pungkas Zulfikri. (SP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.