Rusaknya Budaya Menulis di Tangan Pegiat Literasi Abal-abal - Ane Try | Literacy Influencer

Info Terkini

Post Top Ad


Kamis, 27 Januari 2022

Rusaknya Budaya Menulis di Tangan Pegiat Literasi Abal-abal


Anetry.Net
– Gerakan literasi nasional (GLN) telah berkembang sedemikian rupa menjadi asupan penting negeri ini bagi masyarakatnya dalam mengembangkan diri. Tak terkecuali para pemerhati dunia literasi.

 

Hadirnya GLN merupakan angin segar bagi setiap orang yang intens melakukan aktivitas di lini-lini literasi yang selama ini belum mendapat tempat di tengah masyarakat. Siapa yang di Kartu Tanda Penduduknya mengisikan data profesi sebagai penulis atau pegiat literasi? Mungkin belum ada. Namun dengan terbuka lebarnya pintu-pintu literasi, setidaknya akan meningkatkan kecerdasan masyarakat itu sendiri.

 

Sebutlah di bidang literasi menulis. Suatu bagian penting dari literasi yang selama berabad-abad menjadi ujung tombak upaya pencerdasan generasi ke generasi di seantero dunia. Menulis menjadi standar maju atau tidaknya suatu bangsa, dan dengannya menjadi ukuran pula terkait indeks pembangunan manusia.

 

Belakangan, sejak GLN digaungkan oleh pemerintah, bermunculanlah person-person yang intens mengembangkan dirinya melalui kegiatan menulis. Lahirnya para penulis baru bertebaran di mana-mana, ‘bak cendawan tumbuh di musim hujan.’ Hebat dan membanggakan sebagai warga negara yang ingin maju dan berkembang ke arah yang lebih positif.

 

Namun, perlu pula diketahui bahwa setiap perubahan yang mendasar dalam masyarakat kadang melahirkan euforia kebablasan. Munculnya oknum-oknum yang menyebut dirinya sebagai pegiat literasi menulis dengan tulisan-tulisan berbau ‘mesum’ pun harus mendapat pencermatan dari semua pihak. Dan bagi mereka yang sedang haus pengembangan diri di bidang ini, kadang mudah terjebak dengan diksi yang lahir dari ‘mulut manis’ pegiat literasi abal-abal.

 

Masih ingat dengan kontroversi buku berjudul ‘Saatnya Aku mengenal Pacaran’ di tahun 2010 lalu yang akhirnya ditarik dari peredaran? Kontroversi tentang muatan buku yang menjauhkan para pembacanya dari nilai-nilai dan norma ketimuran, budaya dan agama itu mengajarkan kepada semua pihak bahwa menulis bukanlah bidang yang sebebas-bebasnya mengedepankan ide dan pemikiran tanpa mengenal batas susila.

 

Selain itu, dunia baru dan terbuka bagi para pecinta kepenulisan itu pun kadang melahirkan banyak persoalan. Munculnya oknum yang memanfaatkannya demi ‘kepuasan’ tertentu dengan tampilan sebagai pegiat literasi menulis perlu dicermati. Hal tersebut bukan saja merusak pribadi-pribadi di masyarakat, namun juga merusak tatanan dunia literasi itu sendiri.

 

Seorang kawan yang juga penulis profesional bercerita, istrinya yang menginginkan pengembangan diri di dunia literasi menulis mencoba mengenal beberapa orang yang sekiranya akan membangkitkan semangatnya untuk menceburkan diri di dunia baru itu. Namun apa yang terjadi? Seorang oknum yang dengan gagahnya menyebut dirinya ‘guru’ menulis telah merusak keharmonisan rumahtangganya. Alih-alih mendapatkan ilmu pengetahuan di bidang literasi menulis, malah istrinya dijadikan objek fantasi seksual oleh oknum tersebut. Bahkan dengan tanpa beban mengajarkan bahwa di dunia kepenulisan boleh menggunakan bahasa dan diksi saru.

 

“Saya menemukan chat messenger media sosial oknum itu. Ada kalimat-kalimat mesum dikirimkan kepada istri saya. Saya yang juga penulis, ternganga dengan jawaban ketika mengonfirmasinya kepada yang bersangkutan. Dan ia mengatakan, kalimat-kalimat mesum itu adalah penawaran bahasa novel kepada istri saya. Tentu saja ini tidak benar.” Begitu ucap teman yang saya tahu adalah pegiat literasi sejak ia masih sekolah di salah satu SMA di pulau seberang.

 

Miris memang. Dunia literasi yang ditujukan untuk pencerdasan generasi, malah dimanfaatkan oleh oknum-oknum pecundang seperti itu untuk memuaskan hasratnya. Apa jadinya bila tidak ada monitoring dan pengawasan? Tentu akan berdampak lebih buruk pada generasi kita berikutnya bila dicekoki oleh oknum yang tidak memiliki sense of literacy yang mumpuni.

 

Literasi menulis adalah pembangunan budaya kepenulisan secara baik, ditujukan agar generasi bangsa mengenal lebih banyak keterampilan di bidang ini, dan pada gilirannya bermunculan para penulis-penulis hebat yang dapat diteladani semua orang. Dan dengan kemunculan para penulis berkarakter baik tersebut, diharapkan dapat berkontribusi membangun bangsa.

 

Seperti dijelaskan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), kemampuan literasi dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dari individu, keluarga dan masyarakat. Begitu multiple effect yang diinginkan dari sebuah pengembangan literasi di tengah masyarakat.

 

Lahirnya keterampilan literasi, dapat mengangkat nilai-nilai budaya dengan konteks nasionalisme, serta membangun pengalaman-pengalaman positif. Pengembangan literasi bukan malah menjatuhkan generasi pada jurang kebobrokan seperti yang dilakukan oleh oknum tidak bertangungjawab dan tanpa ilmu.

 

Mari lebih bijak atas semua ruang terbuka pengembangan generasi. Generasi yang baik akan dilahirkan oleh teladan yang cerdas tanpa dibumbui oleh perusakan moralitas. Literasi adalah budaya, kita budayakan dengan karakter terbaik menuju bangsa yang syiar dengan kesuksesan. (*/ilustrasi: google image dari suaramuhammadiyah.id)

 

(Penulis: Nova Indra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Post Top Ad