Anetry.Net – Gerakan literasi nasional (GLN) telah berkembang sedemikian rupa menjadi asupan penting negeri ini bagi masyarakatnya dalam mengembangkan diri. Tak terkecuali para pemerhati dunia literasi.
Hadirnya GLN
merupakan angin segar bagi setiap orang yang intens melakukan aktivitas di
lini-lini literasi yang selama ini belum mendapat tempat di tengah masyarakat.
Siapa yang di Kartu Tanda Penduduknya mengisikan data profesi sebagai penulis
atau pegiat literasi? Mungkin belum ada. Namun dengan terbuka lebarnya pintu-pintu
literasi, setidaknya akan meningkatkan kecerdasan masyarakat itu sendiri.
Sebutlah di bidang
literasi menulis. Suatu bagian penting dari literasi yang selama berabad-abad
menjadi ujung tombak upaya pencerdasan generasi ke generasi di seantero dunia.
Menulis menjadi standar maju atau tidaknya suatu bangsa, dan dengannya menjadi
ukuran pula terkait indeks pembangunan manusia.
Belakangan, sejak
GLN digaungkan oleh pemerintah, bermunculanlah person-person yang intens
mengembangkan dirinya melalui kegiatan menulis. Lahirnya para penulis baru
bertebaran di mana-mana, ‘bak cendawan tumbuh di musim hujan.’ Hebat dan
membanggakan sebagai warga negara yang ingin maju dan berkembang ke arah yang
lebih positif.
Namun, perlu pula
diketahui bahwa setiap perubahan yang mendasar dalam masyarakat kadang
melahirkan euforia kebablasan. Munculnya oknum-oknum yang menyebut dirinya
sebagai pegiat literasi menulis dengan tulisan-tulisan berbau ‘mesum’ pun harus
mendapat pencermatan dari semua pihak. Dan bagi mereka yang sedang haus
pengembangan diri di bidang ini, kadang mudah terjebak dengan diksi yang lahir
dari ‘mulut manis’ pegiat literasi abal-abal.
Masih ingat dengan
kontroversi buku berjudul ‘Saatnya Aku mengenal Pacaran’ di tahun 2010 lalu
yang akhirnya ditarik dari peredaran? Kontroversi tentang muatan buku yang
menjauhkan para pembacanya dari nilai-nilai dan norma ketimuran, budaya dan
agama itu mengajarkan kepada semua pihak bahwa menulis bukanlah bidang yang
sebebas-bebasnya mengedepankan ide dan pemikiran tanpa mengenal batas susila.
Selain itu, dunia
baru dan terbuka bagi para pecinta kepenulisan itu pun kadang melahirkan banyak
persoalan. Munculnya oknum yang memanfaatkannya demi ‘kepuasan’ tertentu dengan
tampilan sebagai pegiat literasi menulis perlu dicermati. Hal tersebut bukan
saja merusak pribadi-pribadi di masyarakat, namun juga merusak tatanan dunia
literasi itu sendiri.
Seorang kawan yang
juga penulis profesional bercerita, istrinya yang menginginkan pengembangan
diri di dunia literasi menulis mencoba mengenal beberapa orang yang sekiranya
akan membangkitkan semangatnya untuk menceburkan diri di dunia baru itu. Namun
apa yang terjadi? Seorang oknum yang dengan gagahnya menyebut dirinya ‘guru’
menulis telah merusak keharmonisan rumahtangganya. Alih-alih mendapatkan ilmu
pengetahuan di bidang literasi menulis, malah istrinya dijadikan objek fantasi
seksual oleh oknum tersebut. Bahkan dengan tanpa beban mengajarkan bahwa di
dunia kepenulisan boleh menggunakan bahasa dan diksi saru.
“Saya menemukan chat
messenger media sosial oknum itu. Ada kalimat-kalimat mesum dikirimkan kepada
istri saya. Saya yang juga penulis, ternganga dengan jawaban ketika
mengonfirmasinya kepada yang bersangkutan. Dan ia mengatakan, kalimat-kalimat
mesum itu adalah penawaran bahasa novel kepada istri saya. Tentu saja ini tidak
benar.” Begitu ucap teman yang saya tahu adalah pegiat literasi sejak ia masih
sekolah di salah satu SMA di pulau seberang.
Miris memang. Dunia
literasi yang ditujukan untuk pencerdasan generasi, malah dimanfaatkan oleh
oknum-oknum pecundang seperti itu untuk memuaskan hasratnya. Apa jadinya bila
tidak ada monitoring dan pengawasan? Tentu akan berdampak lebih buruk pada
generasi kita berikutnya bila dicekoki oleh oknum yang tidak memiliki sense of literacy yang mumpuni.
Literasi menulis
adalah pembangunan budaya kepenulisan secara baik, ditujukan agar generasi
bangsa mengenal lebih banyak keterampilan di bidang ini, dan pada gilirannya
bermunculan para penulis-penulis hebat yang dapat diteladani semua orang. Dan
dengan kemunculan para penulis berkarakter baik tersebut, diharapkan dapat berkontribusi
membangun bangsa.
Seperti dijelaskan
oleh United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO),
kemampuan literasi dimaksudkan untuk meningkatkan
kualitas dari individu, keluarga dan masyarakat. Begitu multiple effect yang
diinginkan dari sebuah pengembangan literasi di tengah masyarakat.
Lahirnya keterampilan
literasi, dapat mengangkat nilai-nilai budaya dengan konteks nasionalisme,
serta membangun pengalaman-pengalaman positif. Pengembangan literasi bukan
malah menjatuhkan generasi pada jurang kebobrokan seperti yang dilakukan oleh
oknum tidak bertangungjawab dan tanpa ilmu.
Mari lebih bijak atas
semua ruang terbuka pengembangan generasi. Generasi yang baik akan dilahirkan
oleh teladan yang cerdas tanpa dibumbui oleh perusakan moralitas. Literasi
adalah budaya, kita budayakan dengan karakter terbaik menuju bangsa yang syiar
dengan kesuksesan. (*/ilustrasi: google image dari suaramuhammadiyah.id)
(Penulis: Nova Indra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.