Jakarta, Anetry.Net – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) ungkap bahwa perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak.
Hal itu menurut Kemen
PPPA akan memberikan dampak negatif bagi anak itu
sendiri. "Dampak dari perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak
yang dinikahkan, namun juga akan berdampak pada anak yang akan dilahirkan serta
berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi," ujar Deputi Bidang
Pemenuhan Hak Anak Kemen PPPA, Agustina Erni, pada Kamis (20/1) yang prihatin
dengan melonjaknya permohonan dispensasi nikah di kantor Pengadilan Agama
Ponorogo, Jawa Timur pada 2021.
Erni menjabarkan bahwa sebagian besar
kasus perkawinan anak disebabkan pengasuhan yang rentan dan kurangnya
pengawasan dari orang tua. Untuk itu, advokasi dan sosialisasi terkait
pencegahan perkawinan anak harus terus dilakukan seiring dengan advokasi
pengasuhan bagi orang tua.
"Pengasuhan yang kurang maksimal
menjadi penyebab utama terjadinya perkawinan anak di Ponorogo, sebab banyak
orang tua mereka yang menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan bekerja di
luar daerah," ungkap Erni.
Karena itu, tentunya harus menjadi perhatian bagi seluruh pemangku kepentingan di
tingkat pusat maupun daerah, meliputi pemerintah pusat dan daerah, mitra
pembangunan, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta media untuk
berkoordinasi dan menjalin sinergi dalam membangun kesadaran, perhatian, dan
dukungan terhadap upaya pencegahan perkawinan anak.
Erni menambahkan, penting juga untuk
menindaklanjuti pelaksanaan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 dengan penyusunan
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dispensasi Kawin untuk mengawal
upaya pencegahan dalam perkawinan anak.
"Seharusnya menikah diatas usia 19
Tahun. Jika dibawah 19 Tahun dengan dispensasi tentu pemerintah pusat dan
pemerintah daerah tetap harus memenuhi hak anak atas pendidikan, kesehatan,
sosial dan hak dasar penting lainnya," kata Erni.
Untuk itu, sebagai langkah konkret untuk
pencegahan perkawinan anak, Bappenas bersama Kemen PPPA telah meluncurkan
Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) pada awal 2020.
Stranas PPA menjadi dokumen strategis
yang menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun
daerah.
Adapun lima sasaran strategis Stranas
PPA terdiri dari; optimalisasi kapasitas anak; lingkungan yang mendukung
pencegahan perkawinan anak; aksesibilitas dan perluasan layanan; penguatan
regulasi dan kelembagaan; dan penguatan koordinasi pemangku kepentingan.
Kemen PPPA juga telah melakukan sejumlah
langkah dalam upaya mencegah perkawinan anak antara lain revisi UU Nomor 1
Tahun 1974 dengan UU Nomor 16 Tahun 2019, penyusunan RPP UU Nomor 16 Tahun
2019, menyusun RAN/Stranas pencegahan perkawinan anak, aktivasi Geber PPA
(Kampanye Stop Perkawinan Anak), dan memberikan apresiasi pada gubernur dalam
PPA.
Selain itu Kemen PPPA juga menginisiasi
penandatanganan pakta integritas 20 provinsi dengan angka perkawinan anak di
atas rata-rata nasional, integrasi kebijakan PPA dalam kebijakan KLA,
koordinasi stranas PPA, penyusunan roadmap PPA bersama K/L, penyusunan
peraturan desa PPA, dan pelatihan pembekalan paralegal berbasis komunitas dalam
PPA.
Sebelumnya diinformasikan, sebanyak 266 remaja di Ponorogo,
Jawa Timur mengajukan dispensasi nikah di kantor Pengadilan Agama yang
mayoritas penyebabnya karena sudah lebih dulu hamil.
Angka
tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2020 sebanyak 241 menjadi 266 pada
2021. Peningkatan ini terjadi setelah perubahan usia menikah pada Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang No.16 Tahun 2019 tentang
Perkawinan. (sumber: infopublikid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.