Jakarta, Anetry.Net – Pemerintah kembali memberikan gelar pahlawan sebagai rangkaian peringatan Hari Pahlawan ke-76 tahun 2021. Kali ini, ada empat tokoh yang mendapat anugerah gelar pahlawan nasional.
Pemberian gelar pahlawan memiliki dasar
hukum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda
Kehormatan (GTK) hingga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 tahun 2010 dan PP
Nomor 25 Tahun 2000. Dasar hukum tersebut mengatur cara jadi pahlawan nasional,
bahwa setiap orang atau institusi dapat mengusulkan gelar calon pahlawan
nasional kepada negara.
Masyarakat adat, komunitas, kalangan
akademis, keluarga tokoh, pemerintah daerah dapat mengusulkan seorang tokoh
untuk dinobatkan sebagai pahlawan nasional sepanjang mengikuti UU 20/2009.
Mengacu dari aturan tersebut, calon pahlawan nasional bisa diusulkan lebih dari
satu kali jika ada persyaratan yang belum terpenuhi atau ditunda.
Usulan calon pahlawan nasional dari
daerah lalu harus melalui pertimbangan Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat
(TP2GP). Setelah memenuhi kriteria TP2GP, kemudian oleh Menteri Sosial RI
diajukan kepada Presiden RI melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda
Kehormatan guna mendapatkan persetujuan Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional
sekaligus Tanda Kehormatan lainnya.
Berikut ini adalah profil dari empat
tokoh yang tahun ini mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
1. Haji
Usmar Ismail dari Provinsi DKI Jakarta
Haji Usmar Ismail yang dikenal juga
sebagai Bapak Perfilman Indonesia ini lahir pada 20 Maret 1921 dan wafat pada 2
Januari 1971. Meski sudah 50 tahun lalu wafat, sosok Usmar Ismail tetap lekang
dalam ingatan masyarakat. Ia dikenal sebagai sosok seorang wartawan, sutradara
film, sastrawan dan pejuang yang menjadi pelopor perfilman dan drama modern di
Indonesia.
Pemberian gelar itu diusulkan oleh
Festival Film Indonesia (FFI) dan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid.
Nama Usmar besar di dunia perfilman nasional. Sepanjang hayatnya telah lebih
membuat 30 film di era 1940 hingga 1960-an.
Laman Badan Bahasa Kemendikbudristek
mengatakan, Usmar memang punya perhatian khusus terhadap film. Sebelum menjadi
sutradara, ia sering kali berkumpul di suatu gedung di depan Stasiun Tugu untuk
berdiskusi mengenai seluk-beluk film.
Beberapa sahabatnya yang sering diajak diskusi yaitu Anjar
Asmara yang juga merupakan sutradara, Sastrawan Armijn Pane, Sutarto, dan tokoh
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Kotot Sukardi.
Anjar adalah orang pertama yang
menggeret Usmar masuk langsung ke dunia perfilman. Saat itu, Usmar diminta
menjadi menjadi asisten sutradara (Astrada) dalam film 'Gadis Desa'. Film itu
kemudian dirilis pada 1949.
Tak henti, Usmar makin getol membuat
film. Setelah debut menjadi Astrada, Usmar akhirnya menyutradarai langsung
puluhan film. Beberapa di antaranya mengangkat nama Usmar di pentas nasional,
'Harta Karun' (1949), 'Citra' (1949), 'Darah dan Doa' (1950), 'Enam jam di
Yogya' (1951), 'Dosa Tak Berampun' (1951), 'Krisis' (1953), 'Kafedo' (1953),
'Lewat Jam malam' (1954), 'Tiga Dara' (1955), dan 'Pejuang' (1960).
Film 'Tiga Dara' yang dirilis 1957
merupakan puncak ketenaran karya Usmar Ismail. Dari film inilah mengangkat
karier para bintangnya (Chitra Dewi, Mieke Wijaya, Indriati Iskak), masuk box
office tertinggi dari film Perfini manapun, dan ditayangkan di bioskop-bioskop
kelas satu. Film 'Tiga Dara' sempat ditampilkan di Festival Film Venesia 1959
dan meraih Tata Musik Terbaik di Festival Film Indonesia 1960.
Atas kiprah di dunia perfilman, nama
Usmar juga diabdikan menjadi nama sebuah gedung perfilman, yaitu Pusat
Perfilman Usmar Ismail yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta.
Sebelum dikenal sebagai sutradara, pria
kelahiran Bukittinggi ini awalnya berkecimpung di dunia sastra dan seni teater.
Bakatnya dalam sastra terlihat sejak ia duduk di bangku SMP di Simpang Haru,
Padang. Saat itu, Usmar menggagas suatu ide cerita untuk tampil dalam acara
perayaan hari ulang tahun Putri Mahkota, Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara,
Padang.
2. Tombolotutu
dari Provinsi Sulawesi Tengah
Tombolotutu merupakan tokoh dari
Sulawesi Tengah pertama yang mendapat gelar pahlawan. Tombolotutu adalah salah
satu raja di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Tombolotutu mempunyai
gelar Pua Darawati, ia menerima tahta Kerajaan Moutong pada tahun 1877 di umur
20 tahun. Walau hampir terlupakan, namun jejak perjuangan Tombolotutu berhasil
diangkat menjadi sebuah buku oleh Lukman Najdamudin M.Hum. dengan judul 'Bara
Perlawanan di Teluk Tomini'.
Buku itu banyak mengulas tentang
bagaimana kisah heroik yang ditunjukan Tombolotutu saat melawan Belanda. Salah
satunya, ketika Pemerintah Belanda menurunkan Pasukan Marsose untuk menumpas
Tombolotutu. Marsose adalah pasukan elite Belanda yang pernah diturunkan saat
perang Diponegoro dan perang Aceh. Kala itu pasukan Marsose yang diturunkan
untuk menumpas perlawanan Tombolotutu kurang lebih berjumlah 170 pasukan. Tapi
Tombolotutu menolak takluk.
3.
Sultan Aji Muhammad Idris dari Provinsi Kalimantan Timur
Sultan Aji Muhammad Idris merupakan
tokoh pertama dari Kalimantan Timur yang mendapat gelar pahlawan. Tokoh yang
lahir di Pemarangan Jembayan 1697 berjuang melawan dominasi VOC Belanda saat
itu, beliau gugur dalam pertempuran perebutan Benteng Ford Rotterdam di
Makassar, Sulawesi Selatan.
Situs Pemerintah Provinsi Kabupaten
Kutai Kartanegara menyebut tokoh bergelar Raja Kutai Kartanegara Ing
Martadipura itu juga berjasa mengusir VOC dari Sulawesi Selatan. Ia tak hanya
berjuang memerdekakan wilayah sendiri, tapi juga sekutunya. Pada 1736, Idris
mengirim ratusan pasukan untuk membantu Kerajaan Wajo menghadapi VOC. Bahkan,
ia disebut memimpin barisan terdepan dalam perang melawan VOC
4.
Raden Arya Wangsakara dari Provinsi Banten
Raden Arya Wangsakara adalah seorang
ulama asal Sumedang. Ia kemudian berjuang melawan kolonial Belanda sekaligus
pendiri Kabupaten Tangerang, Banten pada tahun 1640. Perjuangan beliau melalui
penyebaran agama Islam membuat VOC takut dan memicu peperangan di wilayah itu
medio tahun 1652-1653.
Kegigihan rakyat di bawah kepemimpinan
Raden Aria Wangsakara yang melakukan pertempuran selama tujuh bulan
berturut-turut itupun membuahkan hasil. VOC gagal merebut wilayah Lengkong yang
berhasil dipertahankan oleh Wangsakara dan para pengikutnya.
Wangsakara sendiri gugur pada tahun 1720
di Ciledug dan dimakamkan di Lengkong Kyai, Kabupaten Tangerang. (sumber: indonesiagoid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.