Jakarta, Anetry.Net – Kemendikbudristek pada tahun ini menyelenggarakan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Asesmen tersebut tidak dilakukan
berdasarkan mata pelajaran atau penguasaan materi kurikulum seperti yang selama
ini diterapkan dalam ujian nasional, melainkan melakukan pemetaan terhadap dua
kompetensi minimum siswa, yakni dalam hal literasi dan numerasi. Literasi dan numerasi yang dimaksud
sendiri hendaknya dimaknai sebagai lintas mata pelajaran.
“Jadi sebenarnya fokus literasi, numerasi, pendidikan
karakter ini, membutuhkan pemikiran yang tidak terikat pada satu disiplin. Jadi
guru-guru perlu untuk mendorong bagaimana bisa menciptakan ruang-ruang
terjadinya apakah itu project bersama-sama dan lain
sebagainya,” ujar Dirjen GTK Kemendikbud,
Iwan Syahril dalam sebuah wawancara telekonferensi beberapa waktu lalu di
Jakarta.
“Tetap memang begini, literasi dan numerasi ini
menurut saya perlu kita kuatkan. Literasi terutama dalam pemahaman ilmu
pendidikan pada saat ini, literasi kan bukan sekadar ilmu bahasa. Literasi ini
lintas mapel sebenarnya. Memang dalam konteks guru-guru perlu kita belajar
bersama-sama bagaimana memaknai literasi dan numerasi ini dalam konteks yang
lintas disiplin tersebut,” sambungnya.
Literasi dan numerasi intinya adalah bagaimana
memaknai informasi yang bermacam-macam. Kalau literasi, informasi dalam bentuk
teks. Kalau numerasi, informasi dalam bentuk angka dan kemudian maknanya
seperti apa, kemudian memproduksi makna seperti apa. Fokusnya pada meaning.
Ada pun terkait survei karakter, hal tersebut sejalan
dengan upaya mewujudkan Profil Pelajar Pancasila.
“Pendidikan karakter tentunya yang paling penting
nilai-nilai Pancasila tadi yang merupakan pondasi dari negara kita. Nilai
Pancasila yang berketuhanan yang maha esa, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, cinta tanah air–persatuan Indonesia, kerakyatan-demokrasi, dan
keadilan sosial itu merupakan nilai-nilai yang tumbuh kembang di dalam sistem
pendidikan kita. Tidak harus ada mata pelajaran tersendiri menurut saya. Ini
bisa ada di setiap mapel atau setiap bentuk kegiatan, ini sangat mungkin
sekali,” terang Iwan Syahril.
“Karakter itu jangan dimaknai menurut saya ‘ini kita
lagi pendidikan karakter ya, jadi kita harus belajar bagus’. Nanti kalau
pelajaran matematika, enggak ada karakternya dong. Atau belajar sains, enggak
ada karakternya. Enggak begitu. Itu embeded sebenarnya. Perlu
cara berpikir yang lebih komprehensif dan lintas disiplin untuk melakukan ini
semua agar dapat berjalan dengan baik,” tambahnya. (ist)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.