Anetry.Net – Bagaimana caranya setiap orang tumbuh lebih maju dengan segala keterampilan dan potensi yang ia miliki? Tentu saja dengan cara mengembangkan diri dengan jalan inovasi dan karya.
Apakah itu cukup? Satu sisi
sangat cukup. Itu untuk mereka yang mandiri. Mandiri dari segala bentuk situasi
dan kondisi. Katakanlah ia bukan bagian dari sebuah jejaring dengan adanya
atasan bawahan, atau struktur berjenjang secara hirarki dengan ketentuan-ketentuan
yang mengikat.
Mereka yang berada dalam
struktur hirarki; memiliki atasan dan bawahan – dipastikan tidak dapat
berkembang sama seperti orang-orang mandiri di luar sana. Ada batasan-batasan
yang harus dijaga, yang rata-rata hanya berupa tata kesopanan. Tidak
mendahului, tidak menyerobot dan tetap mengikuti pola yang sudah ada.
Banyak kisah yang didapati di
tengah masyarakat, cerita tentang bagaimana seseorang yang terhambat
perkembangan keterampilannya di depan khalayak. Hanya karena merasa menjadi
pribadi yang berada di struktur terbawah, talenta dan potensi ikut terdegradasi
kian redup seiring tertutupnya pintu-pintu kesempatan.
Kalaupun ada kesempatan untuk
maju, berlari lebih kencang demi pencapaian tujuannya sebagai sosok yang
terampil di berbagai bidang atau suatu keahlian, semua itu harus dilaluinya
dengan sulit. Perlu menjembatani diri sendiri dengan segala risiko dari
cercaan, gunjingan dan segala bentuk pandangan negatif.
Tak jarang didengar, “ah, dia
mah bukan siapa. Tapi akhir-akhir ini menjadi pribadi yang sok hebat. Padahal
hanya bawahan, lho!” Atau kalimat, “nggak usah deh terlalu menonjol. Kamu harus
ingat posisi kamu sebagai bawahan. Terlalu ke depan ga baik juga akhirnya.”
Anda pernah mendengarnya atau
malah mengalaminya sendiri? Itulah kebiasaan yang sudah melekat erat dalam
karakter sebagian orang di negeri ini. Dan bisa-bisa kita temui juga di dunia
pendidikan.
Bila dilihat lebih dalam,
menelisik persoalan karakter yang dapat menjatuhkan bahkan menenggelamkan
potensi seseorang, sering terjadi dan berakibat tidak tumbuhnya bibit-bibit
baru potensial.
Siapa yang tidak kenal Buya
Hamka, seorang penulis ternama sekaligus ulama besar dengan karya terbesarnya
Tafsir Al-Azhar. Betapa banyak yang ingin meniru kejayaannya dengan jalan yang sama.
Tapi hingga kini belum ada yang mampu menyamainya.
Apa sebab? Selain kurangnya
motivasi dari orang-orang terdekat; termasuk hirarki yang berada di atasnya –
persoalan utamanya adalah ‘mati rasa’ yang diakibatkan tiadanya dukungan penuh
dari unsur-unsur terkait.
Pada bidang pendidikan
misalnya, adanya aturan bahwa harus adanya pengembangan keprofesian
berkelanjutan (PKB) Guru di bidang publikasi ilmiah dan karya inovatif (PI/KI)
seakan mentah begitu saja di kalangan tumpuan pembentukan generasi. Ada yang
telah tujuh belas tahun tidak naik pangkat hanya karena kurangnya dukungan dan
motivasi untuk mulai menulis.
Sementara itu di lain pihak,
ada guru yang disibukkan dengan menulis sepanjang tahun dengan materi yang
tidak dibutuhkan. Contoh, sekaitan dengan aturan PKB Guru dalam bidang PI/KI,
menulis karya sastera bukanlah hal utama. Harus ada karya tulis ilmiah sebagai
bagian utama dalam pemberkasan kenaikan pangkat. Tapi pihak-pihak tertentu
malah menyodorkan betapa indahnya menulis sesuatu yang berbau sastera tapi
meninggalkan karya ilmiah. Dalam kasus ini, sangat jarang pula yang berupaya
meluruskan. Bahkan seakan dibiarkan begitu saja.
Beranjak pada yang lebih dalam
lagi, adanya perilaku yang lebih mengutamakan perasan dalam membina dan
mendidik pengembangan potensi, turut menjadi penyebab tidak munculnya tokoh
besar dalam berbagai bidang. Kalau di bidang kepenulisan seperti lomba menulis,
sering pula kepesertaan ditunjuk saja tanpa melihat potensi yang cocok untuk
diteruskembangkan.
“Ah, si anu saja. Dia masih ada
hubungan kerabat dengan Mr. X. Ga enak nanti sama beliau.” Pernah mendengar
kalimat senada dengan itu dalam sebuah penetapan kepesertaan dalam
bidang-bidang tertentu? Mungkin pernah di satu lokasi dan tidak pernah di
daerah lain. Tapi itu terjadi.
Seakan hal itu menjadi biasa.
Tapi sejatinya, ini membuat karakter merosot tajam. Melahirkan kebiasaan buruk
turun-temurun. Berakibat pada lunturnya semangat sebagian orang yang potensial
untuk dikembangkan.
Solusinya apa? Bagi mereka yang
petensial harusnya mempersiapkan diri untuk tidak terlalu mengedepankan
pengembangan potensi melalui hirarki. Berkembanglah melalui jalan sendiri.
Hindari cekcok, rasa tidak enak karena merasa direndahkan atau tidak diberi
kesempatan. Buat sesuatu yang baru di luar sana. Jadikan diri anda sebagai
manusia merdeka agar segala tuntutan dari dalam diri untuk maju dapat
terlaksana tanpa mengecilkan arti yang lain, baik profesi maupun hirarki.
Banyak peluang yang bisa
didapatkan untuk maju. Bila tidak melihat peluang karena terbatasnya informasi,
maka di saat itulah anda bisa membuat peluang sendiri. Banyak orang yang maju
dari tempat yang tidak disangka. Sering berlian ditemukan di lumpur yang dalam
dan jarang didekati manusia.
Yakinlah dengan diri sendiri.
Bentuk diri anda dengan karakter yang baik, lalu kembangkan bersama mereka yang
mau membantu dan memberikan wadah. Selagi diri masih tegak berdiri, berlarilah
sekencang mungkin untuk menggapai bintang di langit. Agar suatu saat nanti,
akan dikenang oleh anak-cucu bahwa nenek moyangnya adalah pejuang karakter.
Bukan pecundang yang menunduk ke bumi hanya karena merasa diri rendah. Salam
Literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.