Anetry.Net – Membahas sastra merupakan keasyikan tersendiri dalam dunia kepenulisan. Berbeda jauh dari penulisan ilmiah, sastra memiliki dunianya sendiri.
Menulis karya sastra, dalam pemahamannya merupakan sebuah latihan
intelektual. Membangun sebuah kenyataan di alam maya, menuangkannya dalam
sastra yang dapat dibaca dengan mudah oleh para penikmatnya.
“Intellectual exercise is where a person thinks about a set of
circumstances that are entirely theoretical - the circumstances are completely
separate from reality and are usually under very specific circumstances that
are unlikely to (or do not) exist in the real world.” Begitu ungkapan
penting terkait latihan intelektual ini. Di mana seseorang berpikir tentang
serangkaian keadaan yang sepenuhnya teoretis - keadaan yang benar-benar
terpisah dari kenyataan dan biasanya dalam keadaan yang sangat spesifik, yang
mungkin tidak ada di dunia nyata.
Kemampuan menuangkan sesuatu yang tidak nyata, hanya dimiliki oleh mereka
yang kuat imajinasi. Dan ini belum tentu dimiliki oleh mereka yang biasanya
berkutat dalam karya-karya ilmiah, penelitian, dan sejenisnya.
Bila dikaji secara ilmiah, Intellectual exercise sangat
berkaitan dengan Intellectual energy. Dalam kesehariannya
manusia menghabiskan energi intelektualnya dalam tiga wilayah
aktivitas dasar, yaitu bertahan hidup, pembelajaran praktis( seperti aplikasi
teknologi); menemukan pengetahuan murni lewat proses mental secara induktif(
misalnya sains); dan mengejar pencerahan untuk mengecap kenikmatan dengan
pelatihaan estetika yang mengacu pada bidang humaniora.
Bila energi intelektual itu disandingkan dengan Intellectual
exercise, maka dalam dunia sastra, energi yang paling besar dikeluarkan
adalah bagaimana menaikkan kualitas intelektual itu sendiri.
Penulis bidang sastra, dengan segala kemampuannya menuangkan ide dan
gagasan agar materi yang dihasilkan dapat menjadi lebih enak dibaca dan mampu
membawa setiap orang ke dalam kisahnya. Bahkan seolah menjadi nyata.
Ada banyak contoh yang bisa dilihat dan dibaca dalam proses ini. Adakalanya
karya sastra tidak berhasil membawa pembacanya pada situasi yang diinginkan
penulis. “Hambar, tidak berasa apa-apa ketika membaca.” Bila kalimat itu yang
keluar dari pembaca, maka alamat hancurlah reputasi.
Penulis sastra, dalam menuangkan buah pikir selalu menegedepankan bagaimana
dirinya berdiri di sisi pembaca. Sebagai contoh, sebuah puisi romantisme
kehidupan. Puisi yang bercerita tentang rasa yang lama dibenamkan dalam alam maya
hanya karena merasa tidak pantas. Pada puisi tersebut penulisnya akan
menuangkannya dengan diksi yang lebih mendalam agar pembaca ikut merasakan
betapa kepedihan terjadi pada tiap larik dan baitnya.
Puisi itu singkat, bahkan puisi naratif pun tidak lebih panjang dari sebuah
cerpen. Tapi penulis yang memiliki kualitas intelektual, mampu membawa
pembacanya pada situasi sama seperti situasinya sendiri.
Hal sama terjadi pula pada penulisan novel. Kisah maya yang dituangkan
dalam bentuk tulisan dan enak dibaca, dihasilkan oleh intelektualitas yang
bermutu tinggi. Bukan asal menulis, tapi diiringi dengan ketinggian imajinasi
yang lahir dari intelektual yang tak sembarangan.
Itulah cita-cita yang selalu ada dalam benak penulis bidang sastra.
Cita-cita untuk memperkuat imajinasi dengan Intellectual exercise yang
terus diasah dan ditempa oleh waktu.
Mau menjadi penulis bidang sastra? Anda perlu lebih cerdas daripada sekedar
bercengkerama dengan malam yang senyap. Lahirkan karya, dan terus asah diri
melalui cita-cita. (Ilustrasi: vectorstock)
Penulis: Nurtrianik (Guru, Pegiat Literasi, Influencer, Blogger)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.